Jakarta, Aktual.co — Tidak ada yang bisa membantah kesuksesan seorang Joko Widodo hingga menjadi Presiden Indonesia ke 7 karena media massa menjadikanya idola. Sejak menjabat Walikota Solo, Jokowi mendapatkan sorotan besar media. Dimulai dari perseteruannya dengan Gubernur Jawa Tengah saat itu Bibit Waluyo hingga peluncuran mobil Esemka yang mengibarkan namanya sebagai tokoh nasional.
Media massa pula yang memuluskan langkah Jokowi maju bergandengan dengan Basuki Tjahjapurnama dalam Pilkada DKI Jakarta. Petahana sekaliber Fauzi Bowo pun tumbang saat itu. Belum genap dua tahun mejabat dengan sokongan media massa pula Jokowi menang dalam Pilpres.
Ucapan terimakasih sempat dilontarkan Jokowi usai Pemilu. “Dukungan dari teman-teman semua telah ikut menorehkan sejarah baru bagi Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers di Media Center JKW4P di Jalan Cemara Nomor 19, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (10/7).
Jokowi mengatakan, jurnalis telah bersama-sama berjuang bersama dirinya selama masa kampanye keliling Indonesia. Bagi suami Iriana tersebut, perjalanan kampanye keliling daerah itu adalah sebuah perjuangan menulis sejarah baru Indonesia.
“Perjalanan bersama kita selama ini, terutama saat berkampanye ke berbagai pelosok Indonesia, semoga menjadi kenangan indah yang bermakna bagi semua teman-teman jurnalis,” kata Jokowi didampingi Anies Baswedan, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah, dan Sekretaris Tim Sukses Jokowi-JK Andi Widjajanto.
Begitulah kedekatan Presiden Jokowi dengan awak media. Namanya yang selalu harum, khususnya sebelum menjabat Presiden, membuat dia menjadi orang nomor 1 di republik ini. Sejak ia dilantik pada 21 Oktober 2014 dan menjalankan program pemerintahan, nada kritik media pun mulai dirasakan Jokowi.
Mulai dari soal proses anggaran kartu sakti yang amburadul, heboh pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto terpidana kasus pembunuhan aktifis hak asasi manusia Munir, hingga isu kenaikan harga BBM dan melemahnya rupiah selama kepemimpinan Jokowi, menjadi menu kritik media.
Sampai di titik ini, Presiden harus memerintahkan intelijen untuk memantau media massa. Seperti yang dikatakan Jokowi dalam rapat kabinet, Rabu (7/1) kemarin.
“Semua tahu, kita ini selalu dipotret, selalu diikuti dan selalu dinilai oleh media. Meskipun perlu saya sampaikan ekspos media belum tentu wakili kinerja pemerintahan,” ujarnya di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (7/1).
Jokowi menambahkan, saat ini media selalu memotret setiap aktivitas dan kebijakan pemerintahan dari berbagai sudut pro dan kontra. Presiden pun mengakui telah menganalisis 343 media. Bagaimana hasil analisis itu, Jokowi tidak mengungkapkannya. Hasil itu disampaikan Tim Analis di dalam rapat tertutup dengan Presiden.
“Ada aktivitas-aktivitas ada kebijakan-kebijakan, ada langkah-langkah menteri maupun institusi lain yang dipotret media dari berbagai sudut pro maupun kontra dan menimbulkan persepsi. Dalam kurun hampir 3 bulan ini kita menganalisis oleh mesin intelijen media manajemen dari 343 media, dan mohon maaf,” kata Jokowi.
Penggunaan intelijen untuk mengawasi media massa memang lumrah dilakukan oleh Negara dengan perangkatnya. Namun fungsi utama intelijen dalam mendeteksi dini ancaman terhadap kedaulatan Negara akhirnya menjadi perdebatan tersendiri.
Apakah media dengan pemberitaan yang menyoroti kinerja pemerintah laik dimasukkan ke dalam kategori mengancam kedaulatan Negara?
Lagi pula jika memang ada pengerahan intelijen untuk memantau media, haruskah hal itu dipublikasikan?
Padahal menurut tokoh pers Sabam leo Batubara, trauma kita terhadap penggunaan intelijen untuk membungkam kebebasan pers pada masa orde baru, masih belum hilang. Karena itu, jelas Leo, Pasal 17 UU Pers pun menetapkan yang berhak mengontrol pers adalah masyarakat, melalui media watch.
“Sehingga definisinya harus jelas dulu.Intelijen media ini seharusnya merupakan lembaga swasta dan independen, karena sesuai perjuangan Dewan Pers dan DPR,” tandasnya.
Tindakan presiden berkenaan dengan pemantauan pemberitaan media itu, juga mengagetkan Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya.
“Saya kaget membaca statemen Pak Jokowi seperti khawatir dengan pers saat ini. Padahal yang kami tahu hubungan Jokowi sejak dia menjabat walikota, gubernur dan presiden terlihat sangat indah dan mesra. Jadi aneh kalau Jokowi saat ini memata-matai pers yang telah membantunya mengantarkannya menjadi presiden. Bahkan, beberapa media cenderung memberitakan berlebihan apapun aktivitas Jokowi,” kata Tantowi, ketika berbicara depan Aktual.co, Kamis (8/1).
Seperti kata pepatah “Habis Manis Sepah Dibuang”. (Wahyu Romadhony}