Dengan pesawat sewaan tersebut, perusahaannya membuka rute ke dareah-daerah, seperti Bangka ke Pontianak, kemudian dari Bangka ke Jambi dan Palembang. Mulai dari situ, Chandra pun terobsesi untuk memiliki pesawat sendiri suatu hari nanti.
Dia berpikir, bisnis penerbangan selain pangsa pasarnya masih menjanjikan, juga berpotensi untuk memajukan daerah kelahirannya. Dengan bisnis tersebut, dia bisa ikut memperkenalkan daerah kelahirannya kepada banyak orang.
Akhirnya pada tahun 2000, Chandra Lie dan tiga pendiri Sriwijaya Air yang lain mulai mengajukan izin-izin untuk pembukaan maskapai. Pengajuan izin tersebut baru disetujui pada tahun 2003. Sriwijaya Air akhirnya siap beroperasi pada, dengan bermodalkan satu pesawat Boeing 737-200.
Saat itu, menjalankan bisnis penerbangan bukanlah perkara mudah. Apalagi bisnis garmen juga masih berjalan, dan dia pun harus membagi tenaga dan pikirannya untuk kedua bisnis tersebut. Namun dengan dukungan dari keluarganya yang ikut mendirikan Sriwijaya Air—Hendry Lie, Andi Halim dan Fandy Lingga—maskapai yang masih orok itu pun sukses beroperasi pada 10 November 2003.
Sriwijaya Air pun mulai mengudara, dengan melayani beberapa rute, yakni Jakarta-Pangkal Pinang, Jakarta-Jambi, Jakarta Palembang, dan Jakarta Pontianak. Dengan dibukanya rute-rute ini, Chandra sudah mewujudkan mimpinya, yakni memudahkan dirinya dan orang lain untuk pulang kampung, atau bepergian menjangkau tempat-tempat yang selama ini agak sulit diakses dari ibu kota.
Chandra Lie mengaku mengambil nama Sriwijaya Air lantaran terinspirasi oleh Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim kuno yang menguasai wilayah nusantara hingga wilayah mancanegara saat ini. Kerajaan tersebut dahulu diketahui membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.
Artikel ini ditulis oleh: