Jakarta, Aktual.co —Berita yang paling bikin heboh dalam seminggu terakhir, tentu saja adalah ambruknya nilai rupiah sampai ke titik terendah, terutama akibat pengaruh eksternal. Ekonomi masing-masing negara, termasuk Indonesia, kini memang sudah terintegrasi secara global, sehingga bila ada gejolak di satu negara –apalagi negara dengan ekonomi yang sangat besar seperti Amerika– pasti ada dampaknya ke negara lain.
Bukan cuma Indonesia yang mengalami gejolak ini. Namun nilai tukar rupiah sempat melemah drastis hingga mendekati Rp 13.000 per dollar AS. Padahal, menurut catatan media, Rupiah terakhir kali menyentuh level Rp 12.900 per dollar AS adalah di akhir era Orde Baru, tepatnya pada 17 Agustus 1998.
Gejolak politik setelah Presiden Soeharto terjungkal dari kekuasaan pada Mei 1998, sempat membuat rupiah melemah, sampai di level Rp 16.650 per dolar AS pada 17 Juni 1998. Kondisi 2014 sekarang tentu jauh berbeda dengan kondisi ekonomi-politik 1998, yang menyusul krisis moneter 1997. Fundamen ekonomi nasional saat ini sudah jauh lebih kuat.
Meski begitu, sejumlah kritik pedas dilontarkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia. Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya menilai, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) seolah-olah tidak memiliki strategi ataupun konsep pasti untuk menyelamatkan rupiah. “Mereka se¬ngaja memperlambat ekonomi dengan sejumlah kebijakannya. Jadi, wajar saja jika rupiah akhirnya seperti ini,” katanya.
Sedangkan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bersikap tenang dan percaya diri. Ia menyatakan, pelemahan nilai tukar lebih bersifat temporer dan lebih dipengaruhi kondisi eksternal alias fenomena global. Dikatakan Bambang, per 15 Desember 2014, pelemahan rupiah harian baru mencapai 2 persen. Fluktuasi rupiah masih lebih baik ketimbang rubel Rusia yang mengalami pelemahan 10,2 persen, ataupun lira Turki yang mengalami pelemahan harian 3,4 persen.
Untunglah, gonjang-ganjing nilai rupiah ujung-ujungnya mulai mereda. Posisi rupiah agak tertolong sesudah bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) menyatakan pada 18 Desember 2014, pihaknya tidak akan tergesa-gesa dalam menaikkan tingkat suku bunga acuan, tapi masih dalam rencana semulai di 2015 nanti. Analis menilai, pernyataan ini membuat pelaku pasar semakin tenang. Pasar saham Wall Street melonjak tinggi didorong oleh pernyataan The Fed itu. Saham-saham teknologi memimpin penguatan di Wall Street. Dua saham yang melonjak tinggi adalah Oracle Corp dan Apple.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkena sentimen positif, dan naik lagi ke level 5.100 didorong aksi beli investor domestik. Indeks mampu menguat meski dana asing Rp 808 triliun sudah “kabur” dari lantai bursa. Menutup perdagangan, 18 Desember 2014, IHSG melompat 77,696 poin (1,54%) ke level 5.113,345. Sementara Indeks LQ45 melaju 16,583 poin (1,92%) ke level 881,377. Pernyataan The Fed soal suku bunga juga menjadi pendorong menguatnya bursa-bursa di Asia.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, di depan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pada 19 Desember 2014 bahkan sudah berani menyebutkan, kondisi perekonomian Indonesia sudah kembali normal. Terlihat dari nilai tukar rupiah dan IHSG yang kembali menguat. Ia menyatakan, dollar AS sudah di level Rp 12.500, sedangkan IHSG malah sudah kembali kuat di atas 5.100.
Meski nilai rupiah tampaknya perlahan mulai pulih, pemerintah dan Bank Indonesia tidak boleh lengah, dan harus terus melakukan langkah-langkah untuk menggerakkan perekonomian. Khususnya di sektor riil, yang berkaitan dengan perluasan lapangan kerja, serta untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Maka berbagai proyek infrastruktrur yang sudah dicanangkan, khususnya di daerah-daerah, harus segera dieksekusi. Berbagai hambatan birokrasi serta perizinan bagi investasi, yang selama ini memperlambat pergerakan ekonomi, harus segera diterobos oleh pemerintah Jokowi. ***
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: