Jakarta, Aktual.com —Beberapa hari lalu, ketika Presiden Jokowi mengisyaratkan akan bergabung dengan Kemitraan Lintas Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP), saya termasuk yang berteriak lantang menentang niat tersebut, apalagi rencana yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Jepang tersebut sudah mencoba merangkul Indonesia sejak era pemerintahan SBY.
Hanya saja lucunya, sempat ada kawan yang komentar, “Wah kalau mas Hendrajit menentang gagasan TPP, apa anda mendukung RCEP (TPP kreasi Tiongkok)?” Saya jawab tentu saja tidak. Dan diluar fakta bahwa Tiongkok membuat RCEP sebagai tandingan TPP, dan tentunya negara tirai bambu itu berkepentingan, bukan berarti TPP lantas secara otomatis wajib kita dukung.
Itu jelas pandangan keliru, karena dengan begitu seakan kita mengabaikan fakta bahwa AS maupun Tiongkok sama-sama berpotensi jadi penjajah negara-negara Asia dan Negara-negara Berkembang pada umumnya, jika kita tidak membangun format kerjasamanya secara efektif dan tepat guna.
Tiongkok akan berbahaya dan berpotensi untuk menjajah negara-negara Asia yang kiranya bisa dia jadikan satelitnya, kalau kerjasama tersebut bertumpu pada kerjasama bilateral. Tak jarang dalam berbagai konflik atau pertikaian perbatasan antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN misalnya, Tiongkok selalu menghindari perundingan penyelesaian damai secara multilateral. Selalu ingin menggiring ke arah bilateral.
Namun, ketika Tiongkok berhasil kita giring ke format kerjasama multilateral seperti pada Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 tempo hari, Tiongkok justru menjadi kekuatan yang dahsyat dan produktif bagi kepentingan seluruh negara-negara Asia Afrika yang berkomitmen pada kesepakatan Dasa Sila Bandung 1955.
Ini sekadar sebuah ilustrasi. Betapa ketika dalam kerangka RCEP, Tiongkok memang kenyataannya merupakan motor pendukung blok ekonomi tandingan TPP, Indonesia cukup beralasan jika lebih condong bergabung dengan RCEP. Karena RCEP, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan format kerjasama ekonomi yang bersifat multilateral sehingga Tiongkok tidak mungkin akan begitu saja menyetir dan mengatur-atur secara sepihak kepentingan-kepentingannya kepada negara-negara mitra seperti dalam format kerjasama bilatral.
Jadi karena gagasannya RCEP adalah untuk menandingi TPP yang jelas-jelas dikendalikan korporasi-korporasi global AS dan Jepang, sah-sah saja Jika Indonesia memandang blok ekonomi Asia Pasifik yang diprakarsai oleh Tiongkok tersebut sebagai alternatif terobosan.
Namun seperti saya bilang tadi, inti masalah bukan soal TPP atau RCEP, tapi ini soal masihkan dimungkinkan untuk membangun sebuah kekuatan baru antar negara-negara di kawasan Asia?
Lantas, adakah momentum saat ini yang memungkinkan hal tersebut tericipta kembali manakala Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan sudah menjadi negara-negara raksasa di bidang ekonomi?
Saya yakin masih bisa, asalkan ada gagasan besar yang mampu menyatukan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Salah satunya, adalah menghidupkan kembali Gagasan Pan Asia Raya. Kalau Bung Karno dulu menyebutnya Pan Asianisme.
Gagasan Pan Asia Raya agaknya perlu dihidupkan kembali. Ya Jepang, Ya Tiongkok, Ya Korea Selatan dan Utara, Ya Asean, dan sebagainya. Lupakan dulu bahwa Jepang dan Tiongkok sekarang sudah jadi negara raksasa ekonomi global yang setaraf dengan Amerika atau Uni Eropa.
Kalau mau jujur dan melihat ke kedalaman, hampir semua negara di Asia, tak terkecuali Jepang dan Tiongkok, di masa lampau pernah punya urusan yang tidak mengenakkan dengan Eropa, maupun Amerika. Indonesia dengan Belanda, Malaysia-Brunei dengan Inggris. Singapura dengan Inggris, Filipina sama Amerika.
Minggu 2 November lalu, Jepang-Korea Selatan-Tiongkok gelar Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri ketiga kepala negara tersebut. Dan sepakat bikin kerjasama perdagangan dan keamanan regional. Buat saya ini sebuah langkah terobosan yang cukup mengagetkan meskipun baru menebar bibit dan benih.
Betapa antar negara Asia, seberapapun besarnya saling kekhawatiran dan saling memandang satu sama lain sebagai ancaman, namun potensinya untuk bersatu dan bekerjasama juga sama besarnya.
Maka itu gagasan terbentuknya Pan Asia Raya atau bahkan Pan Asianisme, bukanlah sekadar angan-angan kosong belaka. Ada dasarnya mereka untuk bersatu. Apalagi ketika saat ini Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat semakin besar gairah dan minatnya untuk menguasai sektor-sektor strategis di kawasan Asia Pasifik.
Pada tataran ini, amat disayangkan bahwa Presiden Jokowi membuat langkah awal yang keliru di awal pemerintahannya, dengan semata-mata bekerjasama dengan Tiongkok secara bilateral dan bukannya atas dasar kerjasama multilateral dengan juga melibatkan Jepang, Korea Selatan dan Utara, atau bahkan mungkin Taiwan.
Dalam format kerjasama multilateral semacam ini, saya yakin Tiongkok tidak akan begitu mudah menyetir dan mengendalikan Indonesia. Karena melalui forum multilateral tersebut, Tiongkok harus juga mengakomodasikan aspirasi dan kepentingan negara-negara yang tegabung dalam kerjasama multilateral tersebut.
Bagi Indonesia, apalagi yang sejak awal kemerdekaan menerapkan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, kita sudah punya dua perhelatan internasional sebagai rujukan penjabaran Kebijakan Luar Negeri Bebas dan Aktif. Yaitu Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok 1961.
Artinya, selama format kerjasama yang dibangun bersifat multilateral, maka antar negara-negara Asia tersebut sejatinya bisa digalang ke arah kerjasama yang strategis, saling menguntungkan dan bahkan mampu memperjuangkan hal-hal yang ideal bagi kesejahteraan umum dan keamanan regional masyarakat di kawasan Asia.
Bagi bangsa-bangsa Asia, bahkan sekaliber Jepang dan Cina sekalipun, yang saat ini sudah masuk kategori negara-negara adikuasa di bidang ekonomi, dulunya juga pernah jadi negara-negara jajahan Amerika, Inggris, Belanda, Perancis, dan bahkan juga Jerman.
Dengan begitu negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, sejatinya bernasib sama di masa lampau. Karena bernasib sama di masa lampau, berarti kurang lebihnya bangsa-bangsa Asia juga punya perangai yang sama. Dan sudah tentu, punya cita rasa yang sama.
Inilah yang dulu pernah dengan gilang gemilang dipersatukan oleh Indonesia dan Presiden Pertama RI Bung Karno melalui Solidaritas Bangsa-Bangsa Asia-Afrika. Termasuk mengikutsertakan Tiongkok dan Jepang yang kala itu jelas-jelas mewakili dua blok politik yang saling berhadapan satu sama lain dalam era Perang Dingin. Namun nyatanya kedua negara tersebut bisa dipersatukan Dasa Sila Bandung 1955.
Kalau dulu 60 tahun yang lalu bisa, kenapa sekarang tidak bisa? Kenyataan bahwa Tiongkok dan Jepang, maupun Jepang dan Korea Selatan, Minggu lalu sudah berhasil duduk dalam satu meja, membuktikan yang semual tak mungkin sekarang mungkin-mungkin saja. Jepang dan Tiongkok saat ini masih dihantui oleh konflik perbatasan di Laut Cina Timur. Jepang dan Korea Selatan masih dihantui oleh masa kelam Jepang ketika menjajah Semenanjung Korea.
Namun ketika akhirnya Minggu 2 November lalu ketiga negara tersebut bersedia duduk dalam satu meja membahas kerjasama strategis di masa depan, berarti lingkup kerjasama antar bangsa-bangsa Asia masih bisa diperluas lagi, dengan melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, negar-negara di kawasan Asia Selatan seperti India dan Pakistan serta Afghanistan, dan negara-negara kawasan Asia Tengah yang dulunya dalam naungan Uni Soviet.
Keberhasilan Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan duduk satu meja di Seoul, Korea Selatan Minggu lalu, membuktikan analisis Bung Karno pada akhir 1920-an. Tak ada yang mustahil untuk menyatukan bangsa-bangsa Asia, ketika sudah disatukan oleh persamaan nasib, perangai dan cita rasa.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit