Jakarta, Aktual.co — Tahukah Anda, hampir sebagian besar konflik global yang terjadi saat ini berakar dari korupsi dan sistem yang korup?
Sebut saja satu per satu. Mulai dari krisis Timur Tengah, Ukraina, sampai konflik KPK, Polri dan carut marut pemerintahan Jokowi. Akarnya, kalau mau ditelisik lebih dalam, adalah korupsi.
Tahukah Anda, siapa yang paling bertanggung jawab atas sistem global yang korup? Jawabannya sistem kapitalisme.
Sebut saja salah satu, yakni globalisasi. Di mata beberapa negara-negara kaya, sistem ini sangat menguntungkan. Tapi di sisi negara miskin, sistem globalisasi adalah sistem korup dan sistem penghisapan yang dilegalkan.
Tahukah Anda, siapa yang disalahkan atas semua kasus korupsi akibat sistem yang korup ini di negara yang kita cintai ini? Jawabannya koruptor atau lembaga yang korup. Namun jarang yang menyebut kapitalisme (baca neoliberalisme). Tidak pernah kapitalisme dihukum dan masuk penjara atas kesalahannya. Yang dihukum adalah koruptor. Atau yang orang dianggap melakukan korupsi.
Padahal, dalam realitas, tidak semua bentuk korupsi memang sengaja dilakukan oleh individu atau lembaga. Namun, memang sistem-lah yang membuat seseorang “dipaksa” untuk melakukan korupsi.
Slavoj Žižek ketika orasi di Occupy Wall Street beberapa saat lalu mengatakan seperti ini: “Ingat. Masalah kita sebenarnya bukanlah korupsi atau suap. Masalahnya adalah sistemnya (kapitalisme). Dia (kapitalisme) yang memaksa Anda untuk melakukan korupsi”.
Akar kapitalisme dibalik sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum sampai sistem politik – lah yang sebenarnya, sadar atau tidak sadar, memaksa individu atau lembaga untuk korupsi.
Nah mirisnya, kesalahan dan kegagalan kapitalisme ini sebagian besar justru dimuarakan ke kesalahan individual atau lembaga yang melakukan korupsi. Kegagalan kapitalisme jadi tertutup ketika massa menerima 100 persen alasan dan logika bahwa yang salah adalah lembaga DPR (legislatif) yang korup. Banyak hakim (yudikatif) yang menerima suap dan atau birokrat/menteri atau Presiden (eksekutif) terlalu banyak menerima gratifikasi.
Di akhir kemarahan massa, semua kompak menyatakan bahwa kacaunya negara ini karena lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif kompak korupsi ramai-ramai. Dan kalau bisa, mereka semua dihukum dan dipenjarakan.
Namun lucunya, sistem kapitalisme tidak pernah salah dan “masuk penjara”. Dan ingat, dan harus selalu diingat, yang paling diuntungkan oleh sistem kapitalisme adalah orang kaya, perusahaan besar dan negara-negara adi daya. Sistem kapitalisme sejatinya adalah sistem penghisapan. Yang kuat menghisap yang lemah.
Dalam kerangka seperti inilah negara harusnya menempatkan cara pandang dalam melihat semua kasus dan konflik vertikal maupun horizontal yang muncul saat ini.
Sudah saatnya, negara ini mulai “menghukum” secara perlahan sistem kapitalisme yang mengedepankan falsafah individualisme itu. Bukan melulu menghukum koruptor. Karena, ibu yang melahirkan sistem yang korup tak lain adalah kapitalisme yang gagal itu.
Lalu, kapan kita bisa menghukum kapitalisme?
Memang sulit. Tapi kita harus yakin dengan kebersamaan sebagai modal besar kita, semangat gotong royong dan Pancasila, kita bisa. Bahwa kita mampu “menghukum” kapitalisme.
Setidaknya, kita mampu merombak kapitalisme menjadi sebuah sistem yang mampu memanusiakan manusia dan alam.
Artikel ini ditulis oleh: