Taufik mengatakan pemegang saham BDNI tidak pernah menggunakan tagihan terhadap petambak sebagai pembayaran berdasarkan MSAA. Tim Bantuan Hukum BPPN juga tidak pernah meminta menagih pemegang saham BDNI Rp4,8 triliun.
Terkait audit BPK 2006 yang menyatakan penerbitan SKL BDNI telah sesuai, Taufik menegaskan bahwa BDNI layak diberikan dan tidak perlu dipermasalahkan.
Taufik dalam kesaksiannya juga menjelaskan soal pertemuan pihak pemilik saham dan direksi BDNI dengan pihak BPPN pada bulan Oktober 2003.
Menurut Taufik pertemuan itu adalah pertemuan resmi atas permintaan Ernst & Young dalam rangka melakukan klarifikasi atas penjaminan hutang petambak oleh Dipasena dan Wachyuni.
Pernyataan Taufik terkiat pemberian aset yang nilainya jauh lebih tinggi oleh Sjamsul diperkuat Lukita yang membenarkan ada kelebihan pembayaran sebesar 1,3 juta dolar AS.
“Berdasarkan laporan FDD (Financial Due Diligence) Ernst & Young, hasilnya obligor membayarkan lebih nilainya US$ 1,3 juta,” ungkap Lukita.
Sementara itu Dorodjatun mengungkapkan penyelesaian obligor BLBI dilakukan melalui kesepakatan MSAA.
“itu adalah perjanjian perdata. Penyelesaiannya adalah out of court settlement (penyelesaian damai di luar pengadilan),” ujar Dorodjatun.
Ia juga mengaku telah menyetujui usulan terdakwa untuk hapus buku porsi utang unsustainable petambak plasma sebesar Rp2,8 triliun.
Utang itu bagian dari total surat utang BDNI Rp4,8 triliun dari petani tambak yang dijamin PT DCD dan PT WM.
Menurut Dorodjatun, disetujuinya penghapusan utang tersebut lantaran usulannya telah dibawa ke Sidang Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2014. Usulan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby