Imam Ghazali

Jakarta, aktual.com – al-Imam Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad bin Ahmad al-ghazali ath-Thusi. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M, di Desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam).

Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Di antara mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme dan Ilmu-ilmu Alam.

Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut. Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Ia mengajar di sana selama
empat tahun dan pada waktu itulah ia menyusun bukunya Maqasid al Falasifah (pemikiran kaum filosof) yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul Logika act Philosophia algazelis Arabis pada tahun 1145 M oleh Dominikus Gundissalinus. Demikian pula buku yang lain seperti Tahaful al Falasifah.

Dalam banyak hal al-Ghazali adalah penerus langsung peranan al-Asy’ari, sebagaimana al-Asy’ari dengan meminjam metode Mu’tazilah berhasil merumuskan dan mengkordinasikan faham Sunni. Demikian juga al-Ghazali, dengan meminjam metode lawannya yakni Neo-Platonisme dan Aristotelianisme, ia berhasil
membendung bahaya gelombang Hellenisme yang kedua, sebagaimana sebelumnya
al-Asy’ari melakukan hal yang sama untuk membendung Hellenisme yang pertama. Maka al-Ghazali mendapat gelar “hujjatul al Islam” dan menjadi simbol bagi kaum Sunni.

Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma‟rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan itikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. serta Nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf. Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizamiah lagi.

Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad
Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran
bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain