Jakarta, aktual.com – Ekonom senior Indonesia, Chatib Basri, memberikan pandangannya mengenai visi dan misi calon presiden (capres) yang akan bersaing dalam Pemilihan Presiden 2024.
Capres tersebut telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi di atas 5%, khususnya sebesar 6-7%, dengan harapan bahwa mereka yang terpilih akan memimpin Indonesia menuju status negara maju pada tahun 2045.
Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, yang menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 6%-7% diperlukan agar Indonesia dapat menghindari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap dan mencapai status negara maju sebelum 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045.
“Para kandidat presiden dan wakil presiden untuk pemilu 2024 pun mengatakan target pertumbuhan ekonomi mereka antara 5,5 sampai dengan 7 persen. Pertanyaan penting yang diajukan adalah dapatkah kita tumbuh lebih dari 6 persen?” kata Chatib dalam akun instagramnya, dikutip Rabu (20/12).
Chatib Basri menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih dihadapkan pada tingginya incremental capital output ratio (ICOR), yaitu jumlah investasi tambahan yang diperlukan untuk mencapai 1% pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi di kisaran 5%.
Chatib menegaskan bahwa level ICOR Indonesia saat ini mencapai angka 6,8. Ini berarti untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, diperlukan tambahan rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebanyak 6,8. Oleh karena itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, diperlukan peningkatan kebutuhan investasi terhadap PDB.
“Jadi, jika kita ingin tumbuh 6 sampai dengan 7 persen, maka kita membutuhkan investasi terhadap PDB antara 41% sampai dengan 47%. Atau di dalam nominal, jika PDB harga berlaku kita adalah Rp 19.500 triliun, kita membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 780 triliun jika ingin tumbuh 6%, atau Rp 1.950 triliun jika ingin tumbuh 7%,” tegas Chatib.
Dengan kebutuhan investasi yang mencapai kisaran antara Rp 780 triliun hingga Rp 1.950 triliun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%-2% sebelum tahun 2045, Chatib menyampaikan bahwa Indonesia juga menghadapi tantangan rendahnya rasio tabungan domestik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Persoalannya adalah tabungan domestik kita saat ini, rasio dari tabungan domestik bruto terhadap PDB kita itu adalah 37%. Di sini ada gap di mana tabungan kita, tabungan domestik kita lebih kecil dari kadar kebutuhan pembiayaan investasi,” ucapnya.
Dampak dari proporsi rendah tabungan domestik bruto terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah kesulitan dalam pendanaan untuk Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam defisit transaksi berjalan yang telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir, menyebabkan terjadinya volatilitas ekonomi. Situasi ini dipengaruhi oleh dominasi investasi portofolio dalam memenuhi kebutuhan pendanaan.
“Jika defisit di dalam transaksi berjalan ini lebih dari 3% dan dibiayai oleh portfolio, setiap kali ada shock, maka uang itu bisa pulang kembali ke negaranya. Akibatnya pasar keuangan terganggu, nilai tukar terganggu, dan pemerintah harus menerapkan stabilitas ekonomi kembali,” tegasnya.
Karenanya, Chatib menyatakan bahwa untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah memiliki setidaknya tiga opsi. Pertama, dapat meningkatkan tabungan domestik bruto dengan meningkatkan proporsi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Yang pertama adalah karena savings-nya lebih kecil dari investment, maka kita perlu menaikkan savings. Caranya adalah dengan menaikkan savings, meningkatkan tax ratio terhadap GDP, artinya peningkatan penerimaan pajak melalui administrative reform,” tutur Chatib.
Dalam hal ini, sebagai langkah kedua, Chatib meneruskan dengan menekankan pentingnya peningkatan produktivitas dalam negeri untuk mengurangi tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Peningkatan produktivitas ini dapat dicapai melalui langkah-langkah efisiensi dalam perekonomian, seperti peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan perbaikan tata kelola pemerintahan.
“Artinya untuk output yang sama dibutuhkan biaya yang lebih rendah. Dengan kata lain kita bicara mengenai efisiensi di sini. Caranya dengan memperbaiki kualitas human capital, dengan terus melanjutkan program infrastruktur, dan perbaikan di dalam tata kelola pemerintahan,” ungkapnya.
Langkah ketiga adalah meningkatkan volume arus modal asing yang masuk ke dalam negara melalui penanaman modal asing (PMA) atau investasi langsung asing (FDI). Oleh karena itu, penting untuk menjaga iklim investasi di Indonesia agar para investor tertarik untuk menanamkan modal mereka di dalam negeri, dengan tujuan membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja lokal.
“Karena itu, untuk membuat ekonominya relatif stabil, maka to fill the gap, untuk mengisi kekosongan ini, dia harus dibiayai melalui PMA. Maka penting sekali untuk menarik foreign direct investment untuk melakukan investasi di Indonesia. Atau alternatif terakhir adalah kombinasi dari tiga kebijakan yang saya sebut,” ungkap Chatib.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain