Rezim jokowi
Rezim jokowi

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah mengklaim, satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mencatatkan sejumlah capaian positif dalam bidang ekonomi. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pada Triwulan II-2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil tinggi di angka 5,12 persen, salah satu tertinggi di antara negara G20. Menkeu optimistis kinerja ekonomi nasional akan terus membaik hingga akhir tahun.

Namun, kondisi berbeda disampaikan Analis Ekonomi Politik FINE Institute Kusfiardi. Menurutnya, dalam setahun pertama Pemerintahan Prabowo ini belum ada progres yang cukup berarti dalam hal pertumbuhan ekonomi.

“Justru didominasi kontroversi. Seperti program Makan Bergizi gratis (MBG) pun tidak lepas dari kontroversi. Mulai dari penyelenggaraannya yang sentralistik lewat pendirian BGN (Badan Gizi Nasional), dan tidak bisa menjadi alat redistribusi ke daerah-daerah, juga muncul secara teknis operasional masalah keracunan massal MBG,” paparnya.

Baca juga:

Setahun Prabowo-Gibran: Maju Mundur Reformasi Polri dan Tumpulnya Hukuman Kejagung

Pun halnya dengan kebijakan lainnnya seperti pendirian BPI Danantara yang belum menunjukan kinerjanya, dan kontroversi kereta cepat Bandung-Jakarta atau Whoosh yang akan berujung pada kebangkrutan.

“Memang dalam satu tahun pertama ini, menunjukkan betapa beratnya kerusakan selama 10 tahun rezim Jokowi sehingga tidak mudah dikoreksi, dan nampaknya langkah-langkah Prabowo belum cukup untuk memperbaiki situasi itu. Jadi kondisi setahun pertama ini memang ada kaitannya dengan kebijakan 10 tahun sebelumnya. Ada warisan masalah dari rezim Jokowi,” paparnya.

Namun, katanya, terlepas dari persoalan warisan rezim sebelumnya, secara struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak banyak yang bisa dibelanjakan untuk pertumbuhan ekonomi produktif.

“APBN kita sudah tergerus sebagian besar untuk bayar utang, ditambah dengan alokasi untuk Bansos, atau perlindungan sosial, dan program MBG. Jadi tidak banyak anggaran untuk digenerate demi kepentingan pertumbuhan ekonomi produktif,” ungkapnya.

Baca juga:

Prabowo Saksikan Penyerahan Uang Pengganti Kasus Korupsi CPO di Kejagung

Karena itu, Kusfiardi memprediksi, pertumbuhan ekonomi di satu tahun pertama akan mentok di angka 5 persen. Pertumbuhannya pun, ucap dia, lebih karena konsumsi.

“Kalau tidak membaik konsumsinya mungkin bisa kurang dari 5 persen. Sektor produktif tanda-tandanya kan kurang baik, masih ada PHK di mana-mana, dan investasi tidak nambah, sehingga kita lihat belum ada perbaikan,” papar Kusiardi.

Pertanyakan Asumsi dan Standar Keberhasilan

Mengenai klaim keberhasilan pemerintah, di mana pertumbuhan ekonomi dan investasi meningkat, serta pengangguran menurun, Kusfiardi mempertanyakan asumsi dan standar yang digunakan.

“Kita tahu kan ada gugatan juga soal publikasi keberhasilan pemerintah soal pertumbuhan ekonomi yang disampaikan BPS, sampai ada dilaporkan ke PBB. Boleh saja pemerintah punya kekuasaan dan mengklaim ada keberhasilan, tapi tidak serta merta bisa otak-atik data seenaknya tanpa peduli dengan aturan baku yang dijadikan ukuran, standar dan kinerja pencapaian sosial ekonomi sebuah negara,” tuturnya.

Menurutnya, klaim keberhasilan yang dibangun pemerintah menjadi kurang berarti karena tidak berhasil menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

“Kalau pakai komparasi-komparasi begitu saja, ya, gampang saja, ya. Misalnya, komparasi sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di negara G20, tapi mari kita lihat siapa yang berkontribusi? Perekonomian kita sebagian besar dikuasai oleh siapa? Itu kan tidak pernah dipertanyakan,” paparnya.

Baca juga:

Menkeu Purbaya Tekankan Akselerasi Belanja Daerah untuk Dorong Pembangunan

Selain itu menurutnya, Pemerintah tidak pernah menghitung pertumbuhan ekonomi itu sebagian besar karena kontribusi perusahaan asing.

“Itu kan bukan punya kita, walaupun pertumbuhan kita besar, kan bukan kita yang dapat. Mereka produksi meningkat, penjualan meningkat, yang kita dapat kan pajak doang, keuntungan mereka dikirim ke negara asalnya, perusahaan induknya, bukan di Indonesia,” jelasnya.

Kusfiardi juga menyampaikan belum ada kebijakan Menkeu Purbaya yang konkrit untuk mendorong daya beli, dan menciptakan ekonomi produktif.

“Kebijakan Purbaya yang baru terlihat kan pada cukai rokok tidak dinaikkan, tapi kan yang mukul konsumsinya sudah banyak banget, ada PPN, PPH dan lainnya. Kalau itu tidak diotak-atik untuk tahun ini, ya, susah konsumsi bergerak,” paparnya.

Sentralisasi Keuangan

Adapun Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya menyoroti meningkatnya sentralisasi fiskal. Pemangkasan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50 triliun dalam APBN 2025 dan Rp155 triliun dalam APBN 2026 banyak menyasar anggaran fisik. Program dan proyek pusat tetap dijalankan di daerah, tanpa mekanisme pengambilan keputusan dan pengadaan di tingkat lokal.

“Ini menjadi kemunduran dalam semangat otonomi daerah yang sudah berjalan 25 tahun,” kata Berly.

Baca juga:

Menkeu Purbaya Yakin Ekonomi Tumbuh 5,5 Persen

Hal sama disampaikan Kusfiardi. Menurutnya berkurangnya TKD akan bermasalah kalau pemerintah masih memberlakukan keuangan secara sentralistik.

Mestinya, kata dia, TKD yang dipotong itu dibelanjakan lagi ke daerah untuk pembangunan insfrastruktur, misalnya pembangunan dan perbaikan jembatan, sekolah, puskesmas, dan fasilitas publik lainnya.

Tingkatkan Batas PTKP

Karena itu Kusfiardi mengusulkan untuk tahun kedua Pemerintahan Prabowo agar fokus memfasilitasi infrastuktur konektifitas di daerah. Tujuannya untuk menghidupkan kegiatan ekonomi lokal.

“Kalau bangun tol kan tidak ada hubungannya dengan produktifitas ekonomi lokal. Itu kan hanya memfasilitas perusahaan otomotif agar bisa menjual lebih banyak. Tapi kalau mau meningkatkan produktifitas ekonomi lokal, misalnya di daerah perkebunan, pertanian, perikanan, ya, harusnya infrastruktur terkait itu yang dibangun bukan lainnya,” katanya.

Kemudian, katanya, kalau pemerintah mau menyelamatkan konsumsi ke depan, maka paling tidak harus segera perbaiki kebijakan di perpajakan. “Jadi batas pendapatan yang kena pajak harus diperbaiki, harus dinaikkin, tidak bisa kayak sekarang Rp5 juta saja sudah kena pajak,” ucap Kusfiardi.

Baca juga;

Menkeu Purbaya Sebut Kesejahteraan Masyarakat Naik dalam 10 Bulan Pertama Pemerintahan Prabowo

Ia menjelaskan, dengan masih tingginya tingkat kesenjangan harusnya pemerintah menyasar pajak yang lebih tinggi untuk kelompok yang lebih kaya.

“Sekarang itu kita hanya digerakkan sedikit saja kelompok paling kaya di Indonesia. Kelompok kelas menengah ke bawah sudah makan tabungan, nahan konsumsi, kalau tidak ada kebijakan dan tindakan segera dari pemerintah, ya, akan lebih buruk,” ucapnya.

Kusfiardi pun mengusulkan agar menaikkan batas pendapataan kena pajak di atas Rp30 juta atau di angka Rp50 juta. “Supaya juga pajak betul-betul punya aspek retribusi. Jangan orang yang penghasilannya pas-pasan justru dipajakin,” paparnya.

Menurutnya, mereka yang berpenghasilan hingga Rp10 juta per bulan yang sudah keluarga dengan anak 2-3 orang, akan sangat berat bila dibebankan pajak.

“Kalau tidak kena pajak, kan mereka akan terima bersih Rp10 juta. Artinya akan ada sedikit napas untuk konsumsi, atau ada kesempatan untuk alokasi investasi, dan usaha kecil-kecilan modal Rp500 ribu sebulan, misalnya,” tutur Kusfiardi.

Baca juga:

Purbaya Sebut Akan Kejar Ribuan Penunggak Pajak

Kusfiardi pun mengapresiasi tekad Menkeu Purbaya yang akan menagih para penunggak pajak yang sudah inkrah. Namun, bila kebijakan itu diikuti dengan mengefektifkan tarif pajak untuk kelompok kaya dalam pajak progresif, maka akan sangat membantu penambahan pemasukan anggaran.

“Harus ada keberpihakan kalau mau menyelamatkan ekonomi. Dalam waktu dekat tentu harus menyelamatkan konsumsi. Jangka menengah-panjangnya, konsumsi itu harus didorong ke sektor produktif, sehingga ke depan perekonomian kita memang didorong oleh kegiatan yang lebih produktif,” pungkasnya.

Kuncinya Menkeu, jangan hanya retorika saja, sekarang masih retorika saja, belum terlihat riillnya keberpihakan terhadap rakyat. Kebijakan fiskal, mengambil dari yang kaya, meretribusikannya ke fasilitas umum layanan publik.

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi