Di negeri kita, sedang dibangun suatu opini bahwa impor itu bukan karena keterdesakan kebutuhan akibat kelangkaan barang. Melainkan impor merupakan ideologi.Lebih baik impor daripada produksi sendiri atau swasembada.
Krisis meroketnya harga garam, nampaknya hanya tahapan awal dari Perang Asimetris yang dilancarkan negara-negara asing berikut para komprdornya di negeri kita. Pertama tahap tebar isu, harga garam meroket. Tahap Kedua adalah tema atau agenda, kita alami kelangkaan ketersediaan garam. Maka skema sesungguhnya mulai nampak. Kita digiring untuk impor untuk mengatasi kelangkaan garam. Maka, beberapa korporasi agro-ekonomi dan agro-bisnis berbondong-bondong menawarkan diri sebagai pengimpor.
Inilah sebentuk Perang Asimetris yang dilancarkan asing agar kita sebagai bangsa dikondisikan supaya seakan-akan secara sukarela jadi bangsa yang tidak produktif, tidak kreatiff dan tidak imajinatif. ”
Padahal, seperti ungkapan Bung Karno: “Barang siapa punya imajinasi tentang masa depan, maka dia akan dimenangkan oleh sejarah.”
Agaknya, secara bertahap negeri kita masuk dalam jebakan skema para kapitalis global yang dilancarkan lewat IMF dan Bank Dunia. Mereka punya skema bernama Structural Adjustment Program (SAP) salah satunya adalah, membuka kran impor yan seluas-luasnya. Selain titah pada negara-negara patuh pada skema IMF ini, untuk memprivatisasi BUMN dan mencabut subsidi sektor-sektor yang sangat vital bagi masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan BBM.
Indonesia, secara geopolitik memang sedari mula dikondisikan oleh negara-negara asing agar tidak menjadi negara yang berswasembada, produktif dan inovatif dalam sektor-sektor andalannya. Melainkan agar tetap jadi negara konsumen sehingga tetap tergantung pada negara-negara asing.
Peringatan Dr Sam Ratulangi dan Presiden Pertama RI Bung Karno sejak dekade 1930-an nampaknya masih tetap relevan hingga sekarang. Menurut Bung Karno dan Ratulangi, Indonesia oleh negara-negara kapitalis-imperialis sedari awal dibingkai dalam struktur kolonial berdasarkan tiga ciri: (1) Indonesia diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) Indonesia diposisikan sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) Indonesia diposisikan sebagai pasar untuk memutar kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut.
Sepertinya, struktur kolonial itu sekarang masih tetap diupayakan oleh AS dan Blok Barat agar tetap bertahan di Indonesia. Sebagai bingkai kebijakan strategis Indonesia di sektor ekonomi dan perdagangan. Dengan kata lain, kendali kebijakan Indonesia mengenai produksi, sepenuhnya dalam arahan dan tuntunan IMF, Bank Dunia dan WTO.
Tatkala sekarang Indonesia menjumpai keterpurukan dalam hal peradaban dan moral sebagaimana diurai di muka tadi —akibat tiga faktor pendorong (driving force) di atas— maka pertanyaan yang timbul, “Bukankah hal-hal tersebut adalah bagian dari neokolonialisme dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik secara langsung oleh asing melalui segelitir elit dan kompradornya, sebagaimana isyarat BK?”
Sekali lagi, pertanyaan pamungkas pada catatan ini: “Mengapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya simpel, kita tidak mau berkaca pada kejadian yang lalu-lalu maupun masa akan datang, tetapi cenderung mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis)!
Hendrajit, Redaktur Senior