Jakarta, Aktual.com – Sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi di Tanah Air menyatakan keberatan dengan pengesahan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang dinilai terburu-buru.

“Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatanya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat,” ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu (7/10).

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual.

Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

“Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja DPR dan pemerintah pada pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya,” tuturnya.

Dia menambahkan saat UU tersebut masih berbentuk draft banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.

“Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar,” imbuh dia.

Pakar hukum tata negara itu menjelaskan UU Ciptaker bahkan melanggar nilai konstitusi UUD 1945. Contohnya, pada Pasal 18 ayat lima UUD 1945, yang mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, namun ternyata pada UU tersebut justru menarik kewenangan ke pusat.

“Peran Pemda dikerdilkan dan membuat Jakarta terlalu kuat. Begitu juga dengan hak buruh yang seakan diambil alih dengan menyerahkannya pada peraturan perusahaan,” ujarnya.

Susi menambahkan bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.

“Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan,” katanya.

Dia memohon kepada Presiden Joko Widodo, para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan para akademisi.

“Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Ciptaker,” pungkasnya. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin