Sekjen PBB Antonio Guterres (istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak tentara Sudan dan pasukan paramiliter untuk segera menghentikan pertempuran dan menyerukan gencatan senjata.

Seruan itu disampaikan setelah pertemuan yang diadakan oleh Uni Afrika untuk membahas situasi dramatis di Sudan, di mana sedikitnya 270 korban tewas dan 2.600 orang cedera dalam bentrokan yang terjadi sejak 15 April 2023.

“Ada konsensus kuat untuk mengutuk pertempuran yang sedang berlangsung di Sudan dan menyerukan penghentian permusuhan,” kata Guterres kepada wartawan, Kamis (20/4).

Sebagai prioritas utama, dia mengimbau agar gencatan senjata berlangsung setidaknya selama tiga hari–yang bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri–serta untuk memungkinkan warga sipil yang terjebak di zona konflik agar bisa menyelamatkan diri, mencari perawatan medis, dan mendapatkan makanan serta pasokan penting lainnya.

“Semua pihak yang berkonflik adalah Muslim. Kita saat ini menyambut momentum sangat penting bagi umat Muslim. Saya pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengadakan gencatan senjata,” tutur Guterres.

Dia juga menyatakan keprihatinan mendalam atas banyaknya warga sipil yang menjadi korban, situasi kemanusiaan yang buruk, dan prospek eskalasi lebih lanjut yang mengerikan.

Lebih lanjut, Guterres mengungkap bahwa gudang, kendaraan, dan aset kemanusiaan lainnya telah diserang, dijarah, dan disita.

“Ini benar-benar keterlaluan,” kata dia.

Pertempuran antara tentara militer Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berlangsung sejak Sabtu (15/4) di Ibu Kota Khartoum dan wilayah sekitarnya.

RSF menuduh tentara Sudan menyerang pasukannya di selatan Khartoum dengan senjata ringan dan berat, sementara militer mengklaim bahwa pasukan paramiliter menyebarkan kebohongan, dan menyebutnya sebagai kelompok pemberontak.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam suatu langkah yang oleh kekuatan politik disebut sebagai kudeta.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra