Jakarta, akual.com – Komisi III DPR RI sedang sibuk. Setelah digempur serangkaian aksi massa selama akhir Agustus 2025, legislator di Komisi III akhirnya muncul dan melakukan salah satu fungsinya yakni melakukan seleksi calon Hakim Agung. Proses seleksi yang berjalan sementara ini terkesan biasa, kalau tak mau disebut ugal-ugalan.

“Ya memang terkesan seperti itu, karena pertanyaan-pertanyaan dari anggota DPR kepada para calon hakim agung tidak substantif,” kata pakar hukum Mohammad Novrizal Bahar, di Jakarta, dikutip aktual.com Senin (15/9).

Pernyataan Novrizal cukup berdasar. Proses seleksi yang berlangsung pada Rabu (10/9) hingga Kamis (11/9) hanya menyinggung pandangan calon hakim agung terhadap pemborgolan dan pengenaan rompi tersangka kejahatan. Bahkan ada yang bertanya selama menjadi hakim apa pernah mendapat hadiah.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh jadi penting, tetapi tak menunjukkan kompetensi yang dibutuhkan menjadi hakim agung. Kalau dibaca dengan logika terbalik, boleh jadi anggota Komisi III DPR tak memahami apa yang dibutuhkan publik terkait supremasi hukum.

Selama dua hari proses seleksi, kita tak melihat pandangan calon hakim agung terhadap proses hukum terhadap mantan presiden atau presiden definitif. Ambil contoh Korsel yang sejak menyandang status republik pada 1948 sedikitnya tiga kali mempidanakan presiden aktif. Atau pandangan calon hakim agung dalam memperbaiki peradilan yang babak belur.

“Pertanyaannya hanya mewakili selera mereka saja,” lanjut Novrizal.

Fit and proper test calon hakim agung kali ini diikuti 16 calon yang terdiri atas 13 calon hakim agung dan 3 calon hakim ad hoc HAM. Seluruhnya berasal dari total 183 pendaftar calon hakim agung dan 24 pendaftar calon hakim ad hoc HAM yang diseleksi KY.

Total 16 peserta yang dinyatakan lolos telah melewati tahapan seleksi dengan menempuh persyaratan administrasi, uji kualitas (karya profesi), penulisan, studi kasus hukum, studi kasus kode etik dan pedoman perilaku hakim, hingga tes objektif dan pemeriksaan kesehatan.

Novrizal mengingatkan pula bahwa upaya seleksi calon hakim agung harus mampu menjawab kritikan publik selama ini yakni, adanya calon titipan dan para pencari kerja (jobseeker). Dia menilai langkah seleksi yang dilakukan KY belum efektif untuk menjaring para Wakil Tuhan.

“Di samping harus ada langkah-langkah pro aktif yang extraordinary dalam menjaring para calon hakim agung, kita perlu ingat adagium yang menyebutkan hakim itu Wakil Tuhan di muka bumi. Nah untuk menyeleksi wakil Tuhan harus lebih ketat caranya. Harus lebih hebat metodenya daripada pemilihan-pemilihan pejabat publik yang lain. Libatkan psikolog-psikolog dan konsultan-konsultan terbaik di negara ini,” ungkapnya.

“Di meja peradilan, hakim memiliki kekuasaan tertinggi. Siapa pun yang memiliki perkara harus tunduk pada putusan hakim. Itu sebabnya hakim seolah-olah menjadi Wakil Tuhan dalam memutuskan kebenaran dan keadilan,”tuturnya.

Karut marutnya situasi peradilan, kata Novrizal, mengharuskan adanya langkah progresif untuk menjaring sosok-sosok terbaik. Bila perlu membuka peluang masyarakat untuk mengusulkan kandidat. Hal ini bisa menjadi solusi untuk menangani isu public trust terhadap semua institusi di Republik, termasuk pengadilan.

“Perlu melibatkan masyarakat, tidak hanya lingkaran elite saja, yang hanya membuka peluang para jobseeker,” keluhnya.

Soal ini, KY sudah angkat bicara. Pimpinan dan anggota ketika menghadiri rapat dengan Komisi III, Senin (8/9), menegaskan bahwa 13 calon hakim agung dan 3 calon hakim ad hoc dilakukan secara profesional. Tidak memainkan passing grade kandidat, apalagi terlibat konflik kepentingan dengan penguji.

Proses seleksi kini sudah berlangsung setelah Komisi III DPR menerima 16 kandidat dari KY. Menurut rencana, pada Selasa (16/9), Komisi III DPR bakal menggeler pleno memutuskan kandidat terpilih.

Momentum Kembalikan Wakil Tuhan ke Khitah

Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Agus Surono berharap uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agunh dijadikan pegangan anggota DPR untuk mengembalikan Mahkamah Agung (MA) ke khitah yakni menjadi peradilan yang agung dan merdeka. Seleksi bukan forum lobi-lobi dan memuluskan jalan orang-orang titipan.

“Mestinya (seleksi hakim agung) menjadi momentum bagi insan peradilan untik mengembalikan MA ke khitah. Bukan hanya kompetensi (DPR) perlu melihat integritas para calon hakim agung,” kata Agus.

Dirinya mengingatkan bahwa MA didera persoalan serius setelah terungkap kasus mafia hukum Zarof Ricar serta penangkapan kepada hakim-hakim yang memvonis lepas korporasi sawit. Mutasi yang dilakukan kepada para hakim-hakim di Jakarta belum cukup memastikan pembenahan para hakim berjalan optimal.

Menurut Agus, pembenahan yang dilakukan MA sedang berproses. Namun perlu disadari pula proses yang berjalan tak semudah membalikan telapak tangan. “Saya melihat ada pembenahan di internal MA, tetapi memang tak segampang membalikan tangan,” ujarnya.

“Memang sedang berproses, tentu kita sebagai bagian dari civil society, akademisi, perlu mengingatkan hakim-hakim kita, mereka harus memiliki komitmen dan kompetensi. Dan jangan sampai hakim-hakim yang berprestasi malah tertutup karena ada kasus-kasus itu. Media juga harus memberi kesempatan kepada peradilan kita untuk kembali ke khitah,” sambungnya.

Dirinya juga mengingatkan DPR menjalankan fungsinya dengan baik. Citra DPR yang terpuruk imbas serangkaian aksi demonstrasi sepatutnya dijadikan refleksi untuk membuktikan kinerja, salah satunya melalui momen seleksi calon hakim agung.

“Peristiwa kemarin di mana DPR didemo oleh masyarakat secara luas juga jadi momentum pembelajaran untuk DPR. Saya tidak optimistis tetapi tidak pesimistis. Saya yakin masih ada anggota DPR yang memilih calon hakim agung dengan cermat untuk membawa perbaikan pada peradilan kita,” kata Agus. (Erwin)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi