Menteri Perekonomian Sofyan Djalil nyatakan akan naikkan harga BBM sebelum tahun 2015, namun jumlah kenaikannya belum diputuskan berapa. Namun menurut tim transisi Jokowi beberapa waktu lalu, kenaikan harga BBM yang akan terjadi adalah sebesar Rp3.000-Rp3.500. 
Jika ini yang terjadi, maka berbagai argumen yang dikemukakan oleh PDI Perjuangan saat menolak kenaikan harga BBM adalah palsu belaka. Toh, ketika mereka memegang pemerintahan, harga BBM tetap naik. 
Ini adalah suatu kemunafikan politik yang terlalu “telanjang”, karena tentu rakyat banyak tidak lupa bagaimana berapi-apinya para juru kampanye partai berlambang banteng ini ketika menolak BBM. Kini, saat BBM kembali akan dinaikkan, orang-orang yang sama hanya terdiam, “belagak pilon” dengan memainkan sandiwara DPR tandingan. 
Jadi, saat nanti BBM akhirnya tetap dinaikkan pemerintah, DPR masih punya dua kepemimpinan- sehingga kebijakan tidak populer ini pun akan kembali melenggang tanpa hambatan parlemen.
Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan bahwa Jokowi menaikkan harga BBM demi kesejahteraan rakyat. Ini jelas adalah penipuan terbesar abad ini, karena faktanya kemiskinan (dari masyarakat hampir miskin ke masyarakat miskin) akan bertambah 10 juta jiwa saat harga BBM dinaikkan sebesar Rp3000an (data DR Rizal Ramli). 
Jelas, dengan bertambahnya 10 juta jiwa masyarakat yang tidak makmur, pemerintahan Jokowi tidak hanya menyengsarakan rakyat, melainkan juga telah mengkhianati Konstitusi UUD 1945 Pasal 33, yaitu karena telah menggunakan kekayaan alam Indonesia BUKAN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Yang makmur saat BBM (milik Pertamina) dinaikkan adalah para pemilik SPBU-SPBU yang dimiliki korporasi minyak asing, seperti Shell, Petronas, Total, dsb. Karena disparitas/kesenjangan harga BBM Pertamina dengan harga BBM korporasi asing menjadi dekat- sehingga sebagian konsumen pun berpindah ke SPBU asing tersebut.
Pada APBN Perubahan Juni 2014, harga patokan ICP ditetapkan sebesar 105 $US. Beberapa tahun lalu, pernah terjadi kesepakatan tertulis di UU APBN antara pemerintah dan DPR, bahwa pemerintah berhak menaikkan harga BBM tanpa izin ke parlemen bila harga patokan ICP naik sebesar 15% atau naik ke harga 120,75 $US. Kini yang terjadi malahan harga patokan ICP turun 24 % (dan sepertinya akan terus turun!) atau turun ke harga 90 $US. Jadi, jika pemerintah Indonesia ingin konsisten dengan logika kesepekatan ini, malahan seharusnya harga BBM diturunkan, bukan naik!
Beberapa saat sebelum lengser bersama Pemerintahan SBY, wantan wamen ESDM Susilo Siswoutomo sempat menyatakan bahwa harga keekonomian BBM saat ini seharusnya Rp11.500,-. Keakuratan dari pernyataan ini tentu saja sangat meragukan. Mengingat pada tahun 2012 saja, saat ICP menyentuh 112$ US (Agustus), dan harga minyak Brent di kisaran 109$ US (september), kementerian ESDM menyatakan bahwa harga keekonomian Rp8.400,-. 
Bagaimana mungkin kini saat harga ICP dan Brent lebih rendah, namun harga keekonomian lebih tinggi?  Karena itu saya setuju dengan pandangan DR. Ichsanuddin Noersy yang menyatakan bahwa perhitungan dibalik penentuan harga BBM sejatinya masih sangat “gelap gulita”, alias tidak transparan. Karena biaya produksi BBM yang sebenarnya tidak pernah dibuka oleh pemerintah, tentu kita, rakyat banyak, berhak menolak jika kelak harga BBM dinaikkan.
Ekopol BBM
Beberapa hari lalu Presiden Jokowi, didampingi Menko Perekonomian dan Menteri ESDM menerima tamu negara dari Angola. Media-media massa nasional memberitakan bahwa telah terjadi kesepakatan perdagangan/impor BBM dari Angola yang berpeluang menghemat anggaran negara Rp 15 triliun setiap tahun. 
Meskipun kurang yakin dengan hitung-hitungannya, sejenak kita merasa bahwa pemerintah Jokowi serius memberantas mafia di bidang impor BBM yang sangat kentara kuasanya saat SBY Presiden. Namun, kemarin (1/11) Menteri ESDM Sudirman Said malah menyatakan bahwa “Pak Jokowi tidak ingin membubarkan Petral”. 
Padahal yang ramai-ramai disangkakan sebagai mafia ini adalah Petral itu sendiri. Belum jelas apakah Jokowi memang katakan itu, namun sosok Sudirman Said sendiri memang mencurigakan. Sudah banyak yang katakan bahwa yang bersangkutan, selain orang dekat Ari Sumarno (mantan Dirut Pertamina yang dikenal sangat melindungi mafia impor BBM di Petral), juga sahabat dari Kuntoro Mangkusubroto, setidaknya kedekatan ini diakui keduanya kemarin saat rapat bersama di ESDM beberapa hari lalu (31/10).
Memang sebelum nama Sudirman ini muncul, nama yang menguat menjadi Menteri ESDM adalah Kuntoro. Sosok yang menjadi penganggung jawab dari kelahiran UU Migas 2001 yang disponsori oleh USAID sebesar 20 juta $US (seperti diakui oleh Kedutaan AS di website mereka). Kuntoro juga, dengan dibantu lembaga konsultan AS McKinsey, bukan April 2015 mengadakan acara di Bandung yang diinspirasi oleh korporasi asing Total. Perlu diingat kembali, Total adalah salah satu korporasi pemilik SPBU di Indonesia yang akan “dimakmurkan” oleh kebijakan pencabutan subsidi. Terhadap kedua fakta ini, menjadi sangat logis bila Menteri ESDM yang berada di bawah pengaruh Kuntoro setuju untuk menaikkan harga BBM. 
Karena bila harga BBM tidak naik, bagaimana Kuntoro dapat mempertanggungjawabkan hal ini kepada lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia, penyangga sistem neoliberalisme, yang tentu saja menyokong korporasi-korporasi minyak asal Barat seperti Total, Shell, Exxon, dll.
Kebijakan ekonomi yang berdampak luas seperti kenaikan harga BBM ini berpotensi menimbulkan efek umpan balik politik kepada Jokowi bila tanpa perhitungan yang baik saat melakukannya. Yang pasti Jokowi akan menerima sangat banyak demonstrasi, yang jika beruntung dapat menangkap bertambahnya 10 juta rakyat yang baru termiskinkan, dapat menjelma menjadi krisis politik- apalagi jika parlemen (yang dikuasai kubu lawan Jokowi) kemudian karena desakan rakyat memandang Jokowi telah melanggar Konstitusi. Dengan dibantu menteri ekonomi dan ESDM saat ini (dan juga Wakil Presiden JK), yang menaikkan harga BBM sudah menjadi dogma tersendiri bagi mereka, akan sangat sulit bagi Jokowi untuk melakukan terobosan- menghindarkan diri dari kebijakan ini.
Banyak masyarakat yang berkata bahwa mereka bukan memilih Jokowi untuk kembali menerima mimpi buruk kenaikan harga BBM, seperti yang pernah mereka alami di bawah Mega dan SBY. Melainkan untuk dapat menerima kemakmuran, yanh telah menjadi hak rakyat, sejak UUD 1945 diakui menjadi Konstitusi kita. Manusia dibekali oleh akal dan kehendak, jika tidak mampu mengunakan keduanya dengan optimal, maka sebenarnya ia belum menjadi manusia yang sempurna/ada (ingat filsuf Rene Descartes: cogito ergo sum). 
Masih banyak solusi lain di luar kebijakan menaikkan harga BBM jika ingin mendapatkan ruang fiskal yang cukup, alias dana segar yang banyak. Memang perlu sedikit kerja keras, terutama di otak dan semangat, untuk melakukan langkah terobosan ini. Dengan melakukan subsidi silang ala DR Rizal Ramli, bukannya harus mensubsidi sebesar Rp260an trilun setiap tahun, pemerintah Jokowi malah dapat duit tambahan sebesar Rp 130 triliun setiap tahun.
Namun, sekali lagi, dengan keberadaan Menko Perekonomian dan Menteri ESDM saat ini, tidak mungkin Jokowi menghindar dari kebijakan menaikkan harga BBM. Selain itu juga kita juga sangat ragu kerjasama dengan Angola akan terealisasi -mengingat Sudirman Said belum lama ini nyatakan bahwa mafia impor BBM tidak akan ditindak. Semoga saja cerita Angola ini bukan pencitraan Jokowi belaka.
Oleh Gede Sandra, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)