Tujuannya bukan membangun karakter bangsa, melainkan mencetak rakyat yang patuh dan intelektual yang jinak.

Rezim membangun sistem kepatuhan massal yang mematikan daya kritis rakyat, menjadikan kebenaran hanya milik penguasa.

Hal ini, menurutnya, merupakan pengkhianatan terhadap pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kejahatan lain yang dilakukan pemerintahan Soeharto adalah menjauhkan rakyat dari sejarahnya sendiri.

Buku-buku pelajaran disusun untuk menyanjung penguasa dan menghapus suara korban.

“Generasi pasca-1965 diajarkan melihat sejarah bukan sebagai dialektika rakyat, tetapi sebagai narasi tunggal kekuasaan,” katanya.

Satu generasi intelektual yang dikirim Soekarno ke luar negeri diasingkan dan dipaksa menandatangani surat kesetiaan kepada Orde Baru.

Mereka yang menolak dicap komunis dan kehilangan kewarganegaraan, menjadi eksil politik di negeri orang.

“Mereka dihapus dari ingatan nasional, seolah-olah tidak pernah menjadi bagian dari bangsa ini,” kata Deodatus.

Pengingkaran terhadap Nilai Keadilan

Olimpius Kurniawan mengatakan, Soeharto belum pantas diberi gelar pahlawan sebelum negara menunjukkan keberpihakan terhadap korban dan memastikan rekonsiliasi nasional yang bermartabat.

Ia menegaskan, pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto masih menjadi luka sejarah yang belum pulih.

“Jika negara belum menuntaskan tanggung jawab moral dan hukum terhadap korban, pemberian gelar pahlawan kepada figur yang terkait dengan pelanggaran tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai keadilan,” ujar Popin, sapaan akrabnya.

Komisaris Daerah III Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI) yang meliputi wilayah Jawa, Bali, dan NTB itu menilai pemberian gelar kepada Soeharto lebih bersifat simbolik dan politis ketimbang substantif.

Langkah ini, katanya, berpotensi memperdalam luka sejarah dan memperlemah komitmen bangsa terhadap demokrasi, HAM, dan keadilan sosial.

Minus Keteladanan, “Harusnya Soeharto Diberi Gelar Pengkhianat Bangsa”

Mahasiswa lain, Oktavianus Bali, menegaskan bahwa Soeharto adalah pelanggar HAM yang menyingkirkan siapa pun yang berseberangan dengannya melalui aparatus negara.

Ia menyatakan, seharusnya Soeharto diberi gelar “pengkhianat bangsa” karena hingga kini korban kekejamannya belum mendapat keadilan.

Ketua Himpunan Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta itu menilai, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menunjukkan bahwa negara kehilangan empati terhadap korban. “Rest in Peace (RIP) keadilan,” ujarnya.

Yance F. Wainyambe, mahasiswa Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’, menambahkan bahwa mengakui Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan memelihara penjahat di negeri sendiri.