“Ini berpotensi membuka jalan bagi penjahat lain untuk menerima penghargaan serupa,” ujarnya.
Doniyen, Presiden Mahasiswa Institut Teknologi Yogyakarta, menilai langkah rezim saat ini untuk memberi gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk pembohongan publik. “Itu pengkhianatan terhadap sejarah bangsa,” katanya.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Malik Fajar menyebut “tidak menemukan integritas dan keteladanan dalam diri Soeharto.”
Ia menilai Soeharto justru menjadi antitesis dari seorang negarawan karena membungkam pers, membiarkan praktik KKN, dan melakukan pelanggaran HAM berat.
“Dengan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang kekuasaannya dan belum adanya penghukuman terhadap dirinya serta kroninya, maka sangat tidak pantas Soeharto diberi gelar pahlawan nasional,” ujarnya.
Orang Muda Bisa Apa?
Popin menegaskan, generasi muda harus merawat ingatan kolektif bangsa dengan cara kritis, ilmiah, dan empatik.
Upaya itu dapat dilakukan dengan membaca sumber sejarah dari berbagai perspektif, mendengarkan kesaksian korban, dan menghidupkan ruang diskusi publik yang bebas dari kepentingan politik.
“Mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk melawan lupa,” ujarnya. “Dengan memahami sejarah secara utuh, kita dapat mengambil pelajaran tanpa menutup mata terhadap kesalahan masa lalu.”
Vian menambahkan, orang muda tidak boleh begitu saja mempercayai narasi yang diproduksi kekuasaan.
Pemerintah kerap mengklaim bahwa bangsa ini baik-baik saja, padahal kemiskinan, penculikan, dan pelanggaran HAM masih terjadi.
Yance menegaskan, generasi muda wajib memperkuat pengetahuan dengan diskusi, bedah buku, dan kegiatan kolektif lainnya agar mampu melawan narasi kekuasaan yang menyesatkan.















