RUU perkelapasawitan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan terus didorong oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi agenda penting dalam Program Legislasi Nasional tahun 2018. Meskipun organisasi masyarakat sipil, termasuk pemerintah menyatakan bahwa RUU Perkelapasawitan tidak ada urgensinya.

“Tim Kajian Hukum WALHI telah melakukan analisis komprehensif terhadap RUU ini, baik secara filosofis, maupun pasal-pasal turunannya yang kami nilai berbahaya. RUU ini berpotensi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada, antara lain Undang Undang Perkebunan dan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. RUU Perkelapasawitan ini tidak mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian perkara kedua undang-undang tersebut sehingga berpotensi melanggar hak asasi petani yang dilindungi oleh Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945. Dalam kajian WALHI, RUU ini hanya menjadi alat untuk melegalkan kejahatan yang selama berpuluh-puluh tahun telah dijalankan untuk melanggengkan bisnis mereka,” tegas Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan, Even Sembiring dalam siaran pers, Selasa (27/3) .

WALHI menilai DPR RI mengabaikan fakta bahwa selama ini perkebunan sawit telah melahirkan berbagai krisis, baik krisis lingkungan hidup maupun krisis kemanusiaan di satu sisi. Di sisi yang lain, klaim sebagai komoditas yang menyumbang devisa negara dan mensejahterakan rakyat, hanya isapan jempol. Faktanya, kerugian negara justru begitu besar dari buruknya praktik bisnis yang dijalankan oleh perkebunan sawit, dan ketika terjadi krisis, mereka mengalihkan krisis tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan kembali dibebankan kepada rakyat. Di tengah fakta ini, negara justru terus menerus mensubsidi perusahaan-perusahaan besar.

Pengabaian lain terhadap fakta perkebunan sawit adalah ketimpangan penguasaan lahan oleh perkebunan sawit skala besar adalah persoalan mendasar yang belum terselesaikan. RUU Perkelapasawitan hanya akan melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi. Berdasarkan hasil kajian Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit oleh Direktorat Penelitian Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Struktur penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit terbesar perusahaan swasta dengan luas penguasaan mencapai 10,7 juta hektar. Empat Propinsi dengan Jumlah perkebunan kelapa sawit terbesar antara lain; Propinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar. Kalimantan Tengah seluas 2,4 juta hektar, Kalimantan Timur seluas 2,1 juta hektar dan Kalimantan Barat seluas 1,6 juta hektar. Dari total luasan lahan perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan swasta 43,9% dikuasai oleh 53 grup perusahaan.

“Di tengah tahun politik, dimana tekanan partai politik begitu besar jelang pilkada serentak dan pemilihan Presiden 2019, kami khawatir RUU ini akan dijadikan sebagai transaksi politik untuk mengebut pembahasan dan pengesahan RUU ini. Terlebih kita tahu, bahwa RUU ini digagas oleh partai Golkar dan PDIP. RUU ini juga jelas bertentangan dengan semangat Inpres moratorium dan kontradiktif dengan rencana Presiden mengeluarkan Inpres moratorium sawit yang telah digagas sejak tahun 2016 lalu,” kata Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI Khalisah Khalid.

Untuk itu, karena sejak diniatkan, RUU ini sudah sesat, maka WALHI mendesak Presiden menarik diri dari pembahasan RUU Perkelapasawitan, sehingga RUU ini menjadi hilang relevansinya untuk dibahas dan disahkan. Selain itu WALHI mendesak agar Presiden dan DPR RI fokus pada perbaikan kelemahan-kelemahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang juga mempunyai permasalahan terkait keberpihakan pada rakyat dan lingkungan masih sangat relevan mengatur sektor perkebunan menyeluruh, termasuk hal perkelapasawitan. mempercepat reforma agraria untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat dan menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan, ujar Khalisah.