Ketua Dewan Pers Yosep Stanly Adi Prasetyo, Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari dan Menkominfo Rudiantara saat diskusi News or Hoax di Media Center DPR RI, kompleks parlemen, bilangan Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2017). Pemblokiran tersebut tak ada kaitannya dengan agama. Menurutnya, situs tersebut mengatasnamakan diri dengan nama media Islam dan menyebarkan konten hoax yang membawa kebencian. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoimfo) pada tanggal 14 Juli 2017 telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram.

Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Adapun ke-11 DNS yang diblokir sebagai berikut: t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org. Dampak terhadap pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web (tidak bisa diakses melalui komputer).

“Saat ini kami juga sedang menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia apabila Telegram tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten-konten yang melanggar hukum dalam aplikasi mereka. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Dirjen Aplikasi Informatika Semuel A. Pangerapan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (15/7).

Lebih lanjut disampaikan bahwa aplikasi Telegram ini dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme.

Dirjen Aptika juga menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kemkominfo selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga Negara dan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani pemblokiran konten-konten yang melanggar peraturan perundangan-undangan Indonesia.

Di tempat terpisah, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara menegaskan bahwa pemerintah tidak segan menutup keberadaan media sosial dan file video sharing. Ini jika mereka masih membiarkan arus informasi berkonten negatif tersebar di Indonesia.

“Banyak arus informasi negatif, baik berbau pornografi dan faham – faham radikal, saat ini bertebaran dengan bebas dan mudah dikonsumsi publik. Berdasarkan statistik kami, dari 2016 sampai saat ini, permintaan untuk men-take down akun di media sosial maupun file video sharing, 50 persen dilakukan penyedia platform internasional,” ujar Rudiantara.

Lebih lanjut dikatakan bahwa Pemerintah sebenarnya tidak mempunyai intensitas untuk menutup platform ini di Indonesia. Tapi, kalau tidak platform tersebut tidak ada perbaikan, pemerintah akan mempertimbangkan untuk menutupnya.

“Jadi mohon maaf, teman-teman yang main Youtube, Facebook dan lain sebagainya, kalau terpaksa harus (ditutup). Tugas Pemerintah adalah menjaga kondusivitas, yang namanya teknologi informasi, media sosial, digunakan untuk hal positif,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka