Wisamodro Jati (ilustrasi/aktual.com)
Wisamodro Jati (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com — Pelaku shadow economy di dalam negeri masih cukup tinggi yang dilakukan baik oleh perusahaan besar maupun perusahaan kecil dan menengah. Jika para pelaku bisnis seperti itu dikejar maka potensi bisnisnya akan tinggi.

Sehingga, pemerintah tidak perlu menggelar UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) untuk menarik dana orang Indonesia itu di luar negeri.

“Semua entitas bisnis dalam shadow economy itu cukup tinggi, apalagi jika dikaitkan lagi dengan pajak personal dari high wealth individual yang masih belum dikejar pajaknya,” ujar pengamat pajak dari UI, Wisamodro Jati, seusai acara pajak ‘Development of EXCISES and Other Product Specific Taxes’ di Jakarta, kepada Aktual.com, Selasa (24/5).

Menurut dia, berdasar data survey Bank Dunia tahun 2015, dari semua pelaku shadow economy dapat dibagi tiga kategori perusahaan. Untuk kategori besar mencapai 29%, menengah 34%, dan kecil sebesar 37%.

“Apalagi untuk shadow economy ini, menjadi salah satu penyebab gagalnya target pajak selama ini,” ujar dia.

Shadow economy adalah kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang maupun jasa, baik legal maupun ilegal, yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu.

Antara lain dibuat untuk menghindari kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak-pajak lain. Secara umum, skala kegiatan shadow economy berada dikisaran 12-15% dari total PDB di negara maju, sementara untuk negara berkembang bisa mencapai 30-40% dari PDB.

Jati kembali melanjutkan, belum lagi potensi pajak dari kalangan high wealth individual, yaitu kalangan superkaya yang hanya berjumlah 1 persen dari penduduk Indonesia tapi memiliki 50 persen aset dalam negeri. Dan untuk kategori ini, kata dia, Indonesia termasuk nomor tiga terbesar di dunia.

“Sehingga potensi pajak dalam negeri yang dapat digali besar. Masalahnya hanya di data, kalau pemerintah memikiki data yang akurat, baik data di dalam negeri maupun data yang offshore (luar negeri), maka kebijakan pajaknya lebih mudah,” papar dia.

Untuk itu, dilihat dari hal tersebut maka tax amnesty tidak terlalu penting. “Apalagi TA ini tidak ada jaminan akan berhasil. Dan kalau nantinya tidak berhasil, akan jadi preseden buruk di mata pembayar pajak,” tandas dia.

Sejauh ini, pemerintah sendiri belum mengantongi data yang valid. Sehingga dana repatriasi yang katanya ribuan triliun bakal masuk ke Indonesia, datanya berbeda-beda. Termasuk juga persiapan instrumen investasi apa yang disiapkan ketika dana itu masuk.

“Jadi pemerintah sendiri masih belum siap dengan hal-hal teknis dari aturan tax amnesty ini. Apalagi sebetulnya yang penting itu, bagaimana menarik yang high wealth individual itu untuk patuh membayar pajak,” tegas Jati.

Bahkan ketika ditanya, apakah dana pajak dari tax amnesty yang sebesar Rp60 triliun sudah besar atau tidak, dirinya belum mau berkomentar. “Karena pemerintah ngomong itu pun tidak berdasar data akurat hanya asumsi. Jadi masih grey area,” pungkas dia dengan menambahkan efektivitas tax amneaty pun dipertanyakan ketika tahun depan sudah ada keterbukaan informasi antar negara di dunia.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan