Jakarta, Aktual.com — Sidang gugatan praperadilan yang diajukan kembali oleh bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akan disidangkan, Kamis (25/6) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Betul (disidangkan Kamis). Hakimnya Amat Khusairi,” ujar Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna saat dihubungi di Jakarta, Rabu (24/6).
Kuasa hukum Ilham kembali mendaftarkan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada Selasa (16/6), setelah KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan yang diterbitkan pada 10 Juni 2015.
Menurut pihak Ilham, penetapan tersangka tersebut tidak sah karena berdasar pada sprindik yang isinya sama seperti surat sebelumnya yang diperkarakan di sidang praperadilan yang akhirnya dimenangkan olehnya.
“Bagaimana bisa belum melaksanakan perintah praperadilan tapi telah menerbitkan sprindik baru? Kata-katanya sama, posisinya, semuanya sama,” kata kuasa hukum Ilham, Johnson Panjaitan.
Johnson mengatakan, dalam sprindik baru yang diterbitkan KPK tersebut, penyidik telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memasukkan keterangan palsu dengan mengacu pada bukti yang telah digugurkan di sidang praperadilan.
Sebelumnya pada 12 Mei 2015, hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati di PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Ilham Arief Sirajuddin, untuk membatalkan penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama rehabiliasi pengelolaan dan transfer untuk Perusahaan Daerah Air Minum Makassar tahun anggaran 2006-2012.
Menurut hakim Upiek, bukti-bukti yang diajukan KPK hanya berupa fotokopi tanpa bisa ditunjukkan aslinya sehingga KPK dianggap menetapkan Ilham sebagai tersangka sebelum ada dua bukti permulaan yang cukup.
Ilham Arief Sirajuddin dijadikan tersangka atas dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Politikus Partai Demokrat itu diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp38,1 miliar karena adanya sejumlah pembayaran yang digelembungkan oleh pihak pengelola dan pemerintah kota dalam proyek PDAM.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu