Praktisi hukum, pemerhati masalah hukum, politik, dan sosial budaya, Agus Widjajanto

Sejak awal, negara ini dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers) sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat), bukan kekuasaan (Machtstaat). Prinsip ini tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara serta pengaturan kekuasaan kehakiman dalam pasal khusus di dalam konstitusi tertulis.

Negara Hukum dan Ciri-Cirinya

Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraannya didasarkan pada hukum. Dalam negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara harus sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk dalam penegakan hukum oleh aparat berwenang. Ciri utama negara hukum meliputi:

·        Menjamin keadilan bagi warga negara

·        Menghormati dan melindungi hak asasi manusia

·        Memiliki sistem hukum yang jelas

·        Menegakkan kekuasaan kehakiman yang independen

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum,” dengan konsep Rule of Law.

Negara Kekuasaan (Machistaat)

Sebaliknya, Machtstaat adalah sistem negara yang menjadikan kekuasaan individu atau kelompok tertentu sebagai dasar rujukan negara. Dalam sistem ini, kehendak penguasa lebih diutamakan dibanding hukum itu sendiri, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.

Fenomena Penegakan Hukum dan Pembeeantasan Korupsi

Saat ini, korupsi telah terjadi secara masif dan terstruktur. Kita sepakat bahwa korupsi harus diberantas dan pelakunya dihukum seberat-beratnya, termasuk penyitaan aset sebagai efek jera (shock therapy). Namun, pemberantasan korupsi harus tetap berada dalam koridor aturan hukum yang berlaku.

Dalam opini yang dimuat di Harian Sindo (10 Maret 2025), Prof. Romli Atmasasmita menyoroti keberadaan holding BUMN industri jasa dan keuangan bernama Danantara. Ia menekankan bahwa pendirian Danantara mengabaikan ketentuan hukum, seperti:

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Prof. Romli juga menyoroti penyimpangan dalam praktik peradilan pidana korupsi. Ia menegaskan bahwa ketentuan Pasal 14 UU Tipikor menyatakan bahwa UU Tipikor tidak dapat diberlakukan terhadap pelanggaran pidana dalam UU lain, kecuali jika secara eksplisit dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Sayangnya, saat ini banyak pelanggaran hukum di luar UU Tipikor, seperti dalam UU BUMN, UU Pasar Modal, UU Lingkungan Hidup, dan UU Perbankan, yang tetap dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Menurut Prof. Romli, praktik ini adalah bentuk miscarriage of justice yang berdampak pada keamanan dan kenyamanan para pelaku bisnis serta penyelenggara negara. Kesalahan tafsir oleh aparat penegak hukum menyebabkan banyak kasus perdata dipaksa masuk ke ranah pidana korupsi.

Escape Clause dan Solusi Penegakan Hukum

Prof. Romli menegaskan bahwa Pasal 32 Ayat (1) UU Tipikor sebenarnya telah menyediakan mekanisme escape clause bagi aparat penegak hukum. Jika penyidik tidak menemukan bukti cukup adanya tindak pidana korupsi, tetapi ditemukan kerugian keuangan negara, maka penyidik harus melimpahkan kasus tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk penyelesaian secara perdata.

Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, menambahkan bahwa selain mekanisme escape clause dalam Pasal 32 Ayat (1) UU Tipikor, terdapat pula mekanisme Tuntutan Ganti Rugi (TGR) melalui:Pasal 59 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 35 UU Keuangan Negara

Namun, dalam praktiknya, aparat penegak hukum sering kali menganggap bahwa setiap dugaan kerugian negara otomatis menjadi tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Kesimpulan

Penegakan hukum harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, baik secara formil maupun materiil. Jika hukum terus disalahgunakan sebagai alat kekuasaan, maka negara ini tidak lagi menjadi Rechtstaat, melainkan Machtstaat.

Mari tegakkan hukum yang adil agar Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, bukan negara kekuasaan yang terselubung dalam aparat penegak hukum.

 

Oleh: Agus Widjajanto

Praktisi hukum, pemerhati masalah hukum, politik, dan sosial budaya. Tinggal di Jakarta.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano