Manurut Maqdir, keberadaan Dipasena merupakan salah satu perwujudan kebijakan pemerintah pada saat itu. “Kebijakan pemerintah kan memberikan kredit kepada petani, kepada petambak dalam format loan to farmer, agar mereka bisa bersama-sama dengan perusahaan inti menikmati pembangunan bersama.”
Dipasena menjadi salah satu aset Syamsul yang diserahkan BPPN untuk melunasi utang BLBI Bank BDNI. Lehman Brothers, sebagai penilai independen saat itu menyebut Dipasena memiliki valuasi sebesar Rp 19 Triliun. “Itu wajar dong, nilai ekspor pertahun Dipasena saja sebesar Rp 3 triliun.”
“Kalau sekarang ditanyakan kepada petambak. Apakah mereka pernah mendapat kucuran kredit ya pasti mengelak semua, karena memang diberikan dalam bentuk ifrastruktur, hingga bibit, petambak hanya mengolah saja.”
Ketika Kwik Kian Gie menjadi Menteri Perekonomian pada tahun 1999-2000, ada keinginan untuk merubah perjanjian MSAA. Berdasarkan keputusan KKSK, KEP. 20//M.EKUIN/04/2000. Dalam keputusan tersebut dikatakan utang petani tambak ditetapkan maksimal Rp 135 juta ata total, 1,3 triliun dari total 4,8 triliun. Utang Rp 3,7 triliun dialihkan dan ditagihkan kepada pemegang saham Dipasena dan Wachyuni Mandira.
Ketika Kwik berhenti mengundurkan diri, Menko Perekonomian dijabat oleh Rizal Ramli. Selaku ketua KKSK Rizal Ramli mengeluarkan putusan yang menganulir Kwik Kian Gie. Melalui keputusan KKSK No : KEP.02/K.KKSK/03/2001, mengatakan utang petani tambak ditetapkan maksimal Rp 100 juta, jadi total 1,1 Trilyun. Utang Dipasena ditetapkan 1,9 triliun dengan menggunakan kurs dollar USD 1= Rp 7000, tidak dialihkan kepada pemegang saham, sebagaimana yang telah diputuskan KKSK sebelumnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu