Jakarta, aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk periode 2020–2024. Nilai proyek yang mencapai Rp2,1 triliun itu kini menyisakan tanda tanya besar: mengapa kerugian negara Rp744,5 miliar hanya menyeret mantan Wakil Direktur Utama Catur Budi Harto (CBH), sementara nama besar di puncak manajemen BRI seperti Sunarso dan para komisaris belum tersentuh?
Lima tersangka telah diumumkan, termasuk nama-nama dari internal BRI seperti Indra Utoyo (mantan Direktur Digital & TI), Dedi Sunardi (SEVP Pengadaan), serta dua pihak swasta dari PT Bringin Inti Teknologi dan PT Pasifik Cipta Solusi. Namun sorotan tajam kini mengarah pada satu nama: Sunarso, Direktur Utama BRI yang telah menjabat sejak September 2019.
Tanda Tanya Besar: Sunarso dan Kartika Wirjoatmodjo “Tak Tersentuh”?
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mencium aroma kejanggalan dalam proses penetapan tersangka yang hanya menyasar sejumlah pejabat menengah.
“Penetapan tersangka terhadap CBH ini terasa janggal. Proyek sebesar Rp2,1 triliun mustahil tak diketahui oleh Direktur Utama dan para komisaris BRI. Jangan bodohi publik,” tegas Uchok kepada Aktual.com, Jumat (11/7).
Uchok mempertanyakan integritas dan transparansi penyidikan KPK. Ia bahkan menyebut nama Komisaris Utama BRI, Kartika Wirjoatmodjo, untuk ikut diperiksa. “Sunarso itu menjabat lebih dari 6 tahun, bagaimana mungkin proyek semasif ini tidak terpantau olehnya?” tambahnya.
Jejak Uang Harus Diusut Tuntas: Desakan Gunakan TPPU
Tak hanya mempertanyakan aktor intelektual di balik proyek pengadaan EDC, Uchok juga mendesak KPK untuk menggandeng pendekatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar bisa melacak aliran dana secara menyeluruh.
“Rp744 miliar itu bukan angka kecil. Uang sebesar itu mengalir ke mana? Siapa yang menikmatinya? Jangan berhenti pada permukaan, bongkar sampai ke akar,” ujar Uchok.
Menurut data KPK, proyek pengadaan mesin EDC BRI terdiri atas dua skema: sewa Rp505 miliar dan beli putus Rp241 miliar yang terjadi sepanjang 2020–2024. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen atau setara Rp744,5 miliar diduga jadi kerugian negara.
KPK Masih Ragu Bongkar “Layer Atas” Korporasi?
KPK berdalih bahwa penyidikan masih terus berkembang dan tak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru. Namun publik bertanya-tanya, mengapa nama-nama besar di kursi panas direksi dan komisaris belum juga dipanggil?
Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa bukti permulaan sudah cukup untuk menetapkan CBH sebagai tersangka. “Kita akan update jika ada bukti baru,” ujarnya.
Pernyataan ini justru menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya, publik sudah terlalu sering melihat kasus korupsi besar mentok di pejabat menengah—sementara para “jenderal” di balik layar tetap bebas berkeliaran.
Ujian Besar KPK: Profesional atau Tebang Pilih?
Kasus EDC BRI ini menjadi ujian serius bagi kredibilitas dan integritas KPK. Jika lembaga antirasuah itu tak mampu menembus benteng kekuasaan di tubuh korporasi BUMN raksasa, maka kepercayaan publik akan runtuh.
“KPK harus membuktikan bahwa hukum tak pandang bulu. Jangan ada kesan bahwa yang punya kuasa dan koneksi kebal dari jerat hukum,” pungkas Uchok.
Dengan kerugian negara hampir tiga perempat triliun rupiah, KPK tidak bisa lagi sekadar bermain aman. Penegakan hukum harus menyasar semua pihak—tak peduli seberapa tinggi jabatan, seberapa kuat koneksi.
Kini, publik menunggu: beranikah KPK menyentuh Sunarso dan para komisaris BRI? Atau kasus ini akan kembali jadi catatan kelam penegakan hukum yang mandek di tengah jalan?
Redaksi Aktual.com akan terus menelusuri jejak uang, jaringan kekuasaan, serta siapa sebenarnya otak di balik proyek EDC ini. Nantikan laporan investigasi kami berikutnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















