Pemerintah mewacanakan akan menghapus sistem cost recovery dan diganti dengan sistem gross split. (ilustrasi/aktual.com)
Pemerintah mewacanakan akan menghapus sistem cost recovery dan diganti dengan sistem gross split. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Kementerian ESDM akan menggunakan skema gross split terkait bagi hasil dalam pengelolaan Blok Natuna, terutama untuk Blok East Natuna. Skema ini dinilai lebih memberikan kepastian penerimaan negara, tidak seperti skema cost recovery.

Namun demikian, kalangan DPR mengingatkan pemerintah harus lebih hati-hati dalam menerapkan skema ini. Pasalnya, disebut-sebut kontrol pemerintah akan berkurang drastis.

“Apakah dengan gross split itu kita otomatis bisa mengetahui berapa profit yang diterima negara? Tapi yang harus diingat, dengan skema ini berarti kewenangan mutlak diserahkan ke kontraktor. Kita hanya terima hasil dari kesepakatan di depan,” tutur Anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha, di Jakarta, Selasa (7/12).

Memang dari sisi budgeting bisa dianggap lebih menguntungkan. Apalagi semua diestimasi dan diproyeksi di depan yang disepakati oleh kedua pihak. Sehingga kalaupun nantinya merugi, pemerintah akan tetap mendapat bagiannya.

“Makanya, karena saya lihat kontrol kita nantinya rendah, maka negara harus mau mengatakan, bahwa revenue dan bagi hasilnya harus di atas 50 persen. Kita khawatir tidak sebesar itu,” cetus dia.

Menurut Satya, konsep ini memang memberikan kepastian seperti soal pajak dan royalti. Meski pemerintah tidak lagi punya kewajiban untuk menekan mereka, seperti harus menggunakan kandungan lokal atau tidak dan lain sebagainya.

“Makanya, saya selalu ingatkan pemerintah, dalam mengelola kontrak untuk Blok Natuna itu harus hati-hati. Termasuk pemanfaatan dari kontrak itu,” tegas politisi Partai Golkar ini.

Dengan besarnya peran kontraktor, mekanisme gross split itu tak ada lagi perdebatan mau menggunakan skema offshore atau onshore. Oleh karena itu, karena peran negara terbatas, kontraktor dalam mengelola blok itu sudah satu paket seperti yang mereka lakukan di luar negeri, termasuk dari sisi teknoliginya.

“Saya berharap, jangan sampai keputusan pemerintah merugikan kita ke depannya. Apalagi kakau kita bicara soal Pasal 33 UUD 1945, tentu di sektor energi harus ada kedaulatan untuk kita,” tandas Satya.

Di tempat yang sama, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengakui saat ini pemerintah menunda penandatanganan kontrak Blok Natuna, karena masih ada beberapa pasak yang tak menguntungkan negara.

“Seharusnya kan ini ditandatangani pada 14 November 2016 lalu, cuma ada beberapa term yang tidak menguntungkan. Maka prosesnya kita tunda sedikit, agar term yang tak menguntungkan bisa kita obati,” papar dia.

Perairan Natuna memang menyimpan 16 blok minyak dan gas bumi (migas) yang belum berproduksi maksimal. Bahkan disebut, ladang migas di Natuna ini potensinya mengalahkan Blok Masela.

Namun demikian, kondisinya sebanyak 70 persen kandungan migas di ladang tersebut masih berupa C02. Agar menjadi migas yang bernilai ekonomi tinggi, kandungan C02 itu harus dipisahkan dan perlu biaya mahal untuk itu.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid