Jakarta, Aktual.com – Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan mengatakan, sejak lama telah beberapa kali diaspora Indonesia yang berada di luar negeri secara besar-besaran pernah mengorganisasi diri untuk berhimpun memperoleh perlindungan terhadap mereka yang memiliki keahlian yang tinggi.

Oleh karena itu diantara diaspora itu terpaksa harus memilih menjadi warganegara asing. Hal tersebut disampaikan Maruarar Siahaan dalam kesaksiannya terkait gugatan sengketa pilkada polemik kewarganegaraan Bupati terpilih Orient Riwu Kore yang digelar MK secara daring, Selasa (6/4/2021).

“Karena meskipun dengan kualifikasi yang sama, seorang yang non-citizen dibedakan dalam gaji, pendapatan dan segala fasilitas lainnya, ketika dihadapkan kepada pekerjaan dan jabatan yang sama di negeri asing,” kata dia.

Maruarar menyebut, dalam suasana global ketika kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan di luar negeri harus direbut disaat Negara Indonesia tidak mampu menyediaakan lapangan pekerjaan bagi setiap orang, maka para diaspora yang menyatakan kehendaknya membantu Indonesia dalam bidang pendidikan, ketrampilan tehnik dan bisnis lain di luar negeri.

“Karena mereka terhambat dengan ketiadaan perlindungan dan kemudahan sebagai warganegara,” jelas Maruarar.

Maruarar memaparkan, pertemuan bagi diaspora dua kali di Indonesia yaitu Jakarta dan Bali, pada dasarnya juga telah memperoleh sambutan dari Pemerintah Indonesia, terutama tentang kebutuhan tenaga terampil yang dapat membantu pembangunan Indonesia.

Para diaspora telah memikirkan suatu politik hukum yang dapat mengadosi suatu bentuk perlindungan bagi diaspora Indonesia untuk dapat menyumbangkan tenaga bagi pembangunan Indoneisa.

“Oleh karena itu dalam semangat perlindungan bangsa, dan untuk memberi kemungkinan membuka kesempatan bahwa para diaspora dapat kembali secara periodik untuk membantu pembangunan di Indonesia, diperlukan suatu politik hukum yang memungkinkan dual citizenship tersebut, meskipun dengan kehati-hatian,” kata Maruarar.

Maruarar menilai, pendidikan dan ketrampilan para diaspora Indonesia yang tetap mencintai Indonesia, seyogianya menjadi semangat untuk melihat kasus sengketa Pilkada Kabutan Sabu Raijua ini secara proporsional.

Dibutuhkan ketenangan berpikir untuk melihat adanya kewarganegaraan asing yang diperoleh sesungguhnya bukan atas kehendak sendiri, melainkan hanya untuk mempertahan kelangsungan hidup di negeri orang.

Lebih lanjut Maruarar mengatakan, meski politik hukum tentang dual citizenship masih jauh dari kesadaran bangsa, tetapi seyogianya secara terbatas dapat diawali dengan perumusan konsep kebijakan. Karenanya, berdasarkan fakta dan aturan hukum yang berlaku dalam penyelenggaran Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dalam Undang-Undang yang berlaku, maka meskipun dengan suatu pemikiran tentang persoalan yang menyangkut konstitusi, akan tetapi rule of the games dalam perselisihan atau sengketa pilkada yang menjadi kewenangan MK sifatnya terbatas.

“Politik hukum tentang dual citizenship bagi diaspora yang telah menjadi pemikiran awal untuk keuntungan bersama antara negara yang membutuhkan tenaga terdidik dan terampil kembali secara periodik membantu pembangunan Indonesia dan dipihak lain dibutuhkan untuk menghindari perlakukan yang diskriminatif terhadap diaspora Indonesia di Luar Negeri,” papar Maruarar.

Terkait apakah Orient merupakan WNA atau masih WNI, menurut Maruarar maka harus mematuhi rules of games yang mengatur tentang tenggang waktu dan Objectum Litis sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada dan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020”, dimana pengajuan perkara kepada MK wajib diajukan dalam tenggang waktu yang telah diatur.

Perkara yang diajukan terhadap Orient dari 3 pemohon diajukan jauh melewati tenggang waktu yang dipersyaratkan. Lebih jauh lagi, dalam kasus Orient jug telah ditetapkan oleh KPU sebagai Bupati terpilih berdasarkan Keputusan KPU Nomor 25/HK/03.1-Kpt/5320/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua Tahun 2020 tanggal 23 Januari 2020.

Sehingga, kewenangan untuk memutus apakah Orient layak atau tidak untuk dilantik sebagai Bupati terpilih adalah menjadi bagian dari diskresi pemerintah yang tunduk dibawah UU Pemerintahan Daerah, dan bukan merupakan kewenangan MK untuk memutus.

Lebih jauh lagi, Maruarar menjelaskan bahwa dual citizenship merupakan bagian dari politik hukum di era globalisasi. Dihubungkan dengan kasus Orient, berkaca dari Diaspora – Diaspora yang ada di Indonesia, yang mana mereka memperoleh kewarganegaraan lain bukan atas keinginannya atau kehendaknya, sudah seharusnya mereka dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.

Masih Merah Putih

Terpisah, Paskaria Tombi selaku kuasa hukum Orient mengatakan, dalam beberapa persidangan diketahui fakta–fakta bahwa kliennya tidak pernah melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Sampai saat ini juga tidak pernah ada satu pun keputusan Menteri yang membidangi atau keputusan Presiden yang mencabut perihal kewarganegaraan Indonesia dari Orient.

Kliennya memiliki paspor Amerika karena bekerja sebagai tenaga ahli di Amerika. “Sebagai sebuah bangsa yang besar, harusnya kita bangga karena ada putra bangsa seperti Orient yang mampu bersaing dan bekerja di industry militer negara Adidaya Amerika Serikat,” jelasnya.

Paskaria menuturkan, tindakan Orient yang dengan sukarela melepaskan kewarganegaraan Amerika dan meninggalkan gaji yang besar untuk kembali mengabdi di Indonesia dan kampung halamannya di NTT sepatutnya untuk diapresiasi karena hal tersebut membuktikan rasa nasionalisme Orient kepada Indonesia.

“Pilihan Saudara Orient untuk tetap menjadi WNI menunjukan kemenangan nasionalisme Indonesia. Jika kita tidak mengakui Orient sebagai WNI yang sah maka tentunya dengan sadar kita telah mengakui kemenangan nasionalisme bangsa lain daripada nasonalisme bangsa kita sendiri,” tegasnya.

Gugatan kewarganegaraan Orient diajukan oleh Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Yly Kale, pasangan calon nomor urut 1 pada Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam suatu kesempatan, Orient Riwu Kore menegaskan bahwa dirinya 100 persen kewarganegaraan Indonesia (WNI). Berkaitan dengan kasus kewarganegaraannya itu, Riwu Kore mengatakan sudah ada yang mengurus, bahkan saat ini sedang dalam proses.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu