Dari kiri ke kanan, Pengamat Ekonomi dan Migas Faisal Basri, Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha, Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Perpajakan SKK Migas Sampe L Purba, dan Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Aryo Djojohadikusumo menjadi pembicara dalam diskusi publik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/11). Diskusi tersebut mengangkat tema "Arah Revisi UU Migas". AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Senior Ekonomi-Politik, Faisal Basri menyorot kebijakan revisi PP Nomor 52 tahun 2000 dan PP Nomor 53 tahun 2000 dianggap sebagai kekalahan negara dari korporasi dunia atau swasta. Padahal yang mendesak dilangsungkannya kebijakan ini adalah bukan merevisi PP.

“Saya sendiri belum membaca secara menyeluruh. Tapi jika dilihat dari kebijakan revisi kedua PP ini, berarti negara sudah didikte oleh korporasi asing. Negara kalah dari korporasi swasta. Padahal jika mau memperbaiki sistem telekomunikasi kita bukan revisi PP, tapi revisi UU-nya,” cetus Faisal di acara Konektivitas Telekomunikasi Indonesia di Era Ekonomi Digital, di Jakarta, Selasa (29/11).

Kedua PP itu adalah, PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Nantinya, revisi kedua PP ini akan mengatur skema network sharing antar operator. Bagi PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya PT Telkomsel yang memiliki infrastruktur terbanyak, terutama di Indonesia timur akan dipaksa untuk berbagi. Hal ini yang kemungkinan berpotensi menyrunkan kinerja Telkom.

Menurut Faisal, mestinya pemerintah jangan hanya sibuk mengurusi revisi PP tapi prinsip dasar itu terlebih dahulu mengubah UU Telekomunikasi yang ada sejak tahun 1999 dulu. Dan dianggapnya sudah ketinggalan zaman.

“Karena banyak hal yang mendesak. Seperti lelang frekuensi di kita tidak seperti di India. Di sana pemerintahnya bisa mendapat keuntungan sebanyak US$250 miliar. Tapi dikita dapat apa? Cuma seemprit (sedikit sekali),” cetus dia.

Dengan kondisi pemerintah saat ini ditambah sistem telekomunikasi yang sangat liberal, dirinya sendiri tak aneh jika ada kebijakan revisi kedua PP itu.

“Karena perusahaan telekomunikasi ini tidak ada yang kecil. Semua perusahaan besar. Dan mereka tidak bisa masuk (ke sistem telekomunikasi) kalau tak ada kedekatan dengan pemerintah. Karena yang memberikan lisensi juga kan pemerintah,” tandas Faisal.

Apalagi memang, kata dia, selama ini operator-operator swasta yang dimiliki perusahaan asing itu, seperti PT Indosat Ooredo Tbk dan PT XL Axiata Tbk justru tak menjalankan tugas untuk membangun infrastruktur telekomunikasi hingga ke daerah-daerah pedalaman di Indonesia Timur.

“Aneh kan, kontraknya harus membangun ke seluruh negari, tapi mereka tak membangun ke seluruh Indonesia. Itu salah negara. Kenapa tidak ada sanksinya? Harusnya ada sanksinya. Dengan begitu negara akan berdaulat. Saat ini belum,” jelas Faisal.

Di tempat yang sama, Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara ngotot bahwa kebijakan revisi dua PP ini diperlukan. Katanya, agar Indonesia bisa meniknati berkah ekonomi digital yang tengah berkembang.

“Revisi kedua PP ini diperluan untuk membangun Indonesia agar tidak tertinggal. Sehingga perlu ada praktik network sharing antar operator,” klaimnya.

Berdasar data Katadata, jumlah kepemililan infrastruktur jaringan (BTS) pada 2015 lalu tentu didominasi oleh Telkomsel sebanyak 103.289 unit. XL hanya memiliki 58.879 unit, Indosat ada 50.687 unit, Trikomsel sebanyak 39.054 unit dan Smartfren sebanyak 9.025 unit hanya untuk jaringan 4G LTE.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan