Jakarta, Aktual.co —Pernah suatu saat. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto usul ke Soeharto untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan beberapa dalih dan rentetan data dan fakta ekonomi seputar migas nasional dan internasional.
Apa jawaban Presiden Soeharto atas permintaan itu? Cukup singkat jawabannya, harga minyak harus tetap murah dan terjangkau oleh rakyat meski taruhannya semua sumur minyak milik negara yang ada habis.
Soebroto kembali meminta Soeharto untuk menimbangulang keputusannya itu dengan tetap menggunakan logika dan asumsi ekonomi sebagai alasannya. Namun, sekali lagi, Soeharto menjawab dengan singkat, bahwa minyak yang ada adalah milik rakyat, dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menyejahterakan rakyat. Meski, Soeharto tahu, resikonya APBN akan jebol.
Soeharto saat itu yakin, pembangunan baru dianggap berhasil jika minimal, negara mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan (minimal) mempertahankan stabilitas harga pangan. Salah satu komponen penting agar harga pangan bisa stabil, harga BBM harus bisa dikendalikan agar tetap murah.
Bagi Soeharto, itu adalah kewajiban negara. Soal resiko ekonomis akibat mempertahankan stabilitas harga pangan, itu adalah tanggung jawab seorang Presiden untuk menyelesaikannya. Soal dampak jebolnya APBN, itu juga tanggung jawab Presiden untuk mencari jalan keluarnya. Bukan tanggung jawab rakyat.
Bagi Soeharto saat itu, tidak ada rumusnya menyelesaikan jebolnya APBN dengan cara rakyat yang harus menanggung kenaikan harga BBM. Seperti kewajiban seorang kepala rumah tangga, ketika harga makanan meningkat dan secara ekonomis gajinya tak mampu memberi makan keluarganya selama sebulan penuh maka dia harus mencari jalan keluar agar anak dan istrinya tetap makan selama sebulan penuh. Meski, taruhannya, dia harus mencari pekerjaan lain yang bisa dilakukan diluar jam kantor. Bukan menyerahkan ke nasib, dan memaksa anak istrinya mengurangi jatah makannya per hari.
Keyakinan Soeharto itu terpatahkan ketika pada tahun 82-83 dia terpaksa harus menaikkan harga BBM sampai 80% saat itu. Namun, kebijakan itupun bukan tanpa pertimbangan matang. Soeharto sudah menyiapkan beberapa skenario agar kenaikan itu tetap dalam koridor bahwa harga pangan tetap harus stabil. Dan memang kebijakan itu tak berpengaruh banyak terhadap rakyat.
Namun Soeharto lupa. Subsidi BBM tanpa mempertimbangkan optimalisasi pengembangan sumber-sumber energi lain maka justru akan jadi blunder. Bagaimanapun, sumber daya minyak yang melimpah tetap akan habis juga. Jadi butuh diversikasi pemanfaatan sumber energi lain untuk menopang peran BBM dalam mempertahankan kedaulatan pangan.
Soeharto lupa juga, bahwa kebijakan subsidi BBM yang tak terkontrol membuat subsidi BBM jadi surga bagi mafia migas. Semua orang mahfum saat itu, orang yang bekerja di Pertamina pasti kaya-kaya dan banyak uangnya. Ya, Pertamina jadi sapi perah kroni Soeharto, politisi, pebisnis dan mafia migas nasional dan internasional. Ini terjadi sampai saat ini.
Awalnya, subsidi BBM adalah murni untuk kesejahteraan rakyat namun berubah untuk kesejahteraan kroni Soeharto dan mafia migas sampai rezim Soeharto tumbang di tahun 1998.
Beberapa bulan lalu. Saat Chairul Tandjung masih pejabat Menko pengganti Hatta Radjasa.
Dalam sebuah acara open house di rumahnya, dihadapan wartawan dia mengaku belajar banyak dari Soeharto soal stabilisasi harga pangan. “Saya mempelajari betul Pak Harto. Kenapa bisa sampai 32 tahun (bertahan), karena harga-harga bisa ditekan,” kata Chairul.
Chairul memahami, bahwa kebijakan Soeharto untuk menjaga stabilitas harga pangan saat itu tidak boleh ditentukan atas dasar nilai ekonomis (harga pasar). Tapi sampai sejauh apa pertimbangan kemampuan rakyat membelinya. Ini adalah kewajiban negara.
Namun sekarang terbalik, rakyat harus menerima lonjakan harga bahan pangan yang sama sekali tidak bisa dikontrol oleh negara. Semuanya diserahkan ke pasar. Begitu juga BBM. Rakyat dipaksa menerima dengan legawa bahwa harga minyak di pasar internasional meningkat. Jadi harga BBM nasional harus naik. Namun negara tidak pernah bisa menjamin bahwa kesejahteraan rakyat tetap terjamin meski harga BBM dan harga pangan meningkat.
Terlalu banyak alasan ekonomis dan politis soal kenaikan BBM. Ada alasan APBN, alasan mafia, alasan konflik Timur Tengah sampai alasan politis. Dan sebagian besar benar alasannya. Tapi sekali lagi, isunya tetap tak terjawab: negara tidak mampu meyakinkan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat juga meningkat ketika harga pangan dan BBM meningkat.
Bahkan untuk dua hal penting yang menjadi catatan kelam dari rezim Subsidi BBM era Soeharto saja, negara tidak bisa memberi jaminan penuh yakni optimalisasi pengembangan sumber dan cadangan migas yang ada dan memberantas mafia migas.
Entah. Siapa yang salah dalam hal ini. Yang jelas, sangat salah jika beban akibat salah urus negara harus diselesaikan oleh rakyatnya.
Artikel ini ditulis oleh: