Jakarta, Aktual.com — “Kamu tahu? Sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing ini. Soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka. Jadi, Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme, tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa indonesia. Aku ingin modal asing ini dihentiken, dihancur leburken dengan kekuatan rakyat, kekuatan bangsa sendiri. Bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang. Apalagi minyak kita punya. Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak.”

Pesan Bung Karno kepada Menteri Keuangan Djuanda, soal Kedaulatan Energi tadi disampaikan pada tahun 1960. Itu sekitar 55 tahun yang lalu.

Negara bangsa ini tanpa terasa sudah 70 tahun dimerdekakan secara revolusioner melalui detik-detik proklamasi kemerdekaan yang dramatis oleh dwitunggal Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dan pesan Soekarno yang menyitir balik pidato pembelaannya dalam pengadilan kolonial di Bandung yang menggugat kekejian kolonialisme dan kelicikan kapitalisme itupun telah berselang 83 tahun lalu.

Namun adakah bangsa dan negara ini telah bergeming dari perbudakan politik, ekonomi, dan budaya setelah melalui pergulatan sengit selama dua dasawarsa awal konsolidasi kemerdekaan Indonesia?

Lima tahun awal terhitung sejak proklamasi, negara bangsa ini dipaksa compang camping akibat bergelut guna mengkonsolidasi kemerdekaan fisik teritorial dari berbagai sisa bentuk penguasaan kolonisasi imperialisme asing. Baik melalui pembentukan pelbagai negara boneka maupun pengangkangan Irian Barat dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Lima tahun berikutnya, bangsa negara ini juga dipaksa berjuang dari ancaman perpecahan teritorial sebagai bentuk politik devide et impera mata rantai kolonialisme internasional. Semua itu dalam skema kapitalisme internasional yang mengincar terus kekayaan sumber daya alam dan budaya Nusantara.

Lima tahun ketiga bangsa negara ini juga dipaksa harus bertahan mati-matian melawan penggerusan nilai budaya tatapraja Nusantara akibat praktek politik ‘negara benua’ yang mendompleng sistem politik parlementer. Padahal dari perspektif geopolitik dan aspek geografis nusantara, sistem politik parlementer seturut konsep negara benua itu jelas bertentangan dengan politik ‘negara kepulauan’ yang harus mengedepankan sistem politik presidential yang berlandaskan pada nilai budaya musyawarah sebagai urat nadi kesatuan persatuan antar wilayah, etnis, dan golongan.

Kendati demikian selama 15 tahun awal kemerdekaan, negara bangsa ini sempat beberapa kali menggegerkan dunia. Baik dari sikap heroik yang memuncak pada 10 November 1945 di Surabaya maupun pada kepeloporan penggalangan solidaritas bangsa bangsa Asia Afrika dalam menentang kolonialisme global pada 18 – 24 April 1955 di Bandung.

Bernas nilai nilai letupan keunggulan musyawarah dan persatuan kesatuan Nusantara itu yang lalu dimatangkan dan diperjuangkan bangsa negara ini pada periode lima tahun keempat melalui nation and character building dalam era ‘demokrasi terpimpin’ berlandaskan Pancasila.

Itulah era revolusioner sejati yang menyerempet menyerempet bahaya ‘vivere pericoloso’ menghadapi neo kolonialisme imperialisme (Nekolim). Era pembentukan watak sejati bangsa yang berbarengan dengan upaya mempersatukan lagi keutuhan integritas wilayah negara bangsa Nusantara ini dengan merebut kembali Irian ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Era di mana Indonesia sebagai bangsa muda mampu memberikan sumbangsih konsep tata praja global yang sanggup mengatasi benturan pertarungan kepentingan politik ekonomi dari konsepsi liberal individualistis dengan konsepsi totaliter komunalistis. Benturan di antara faham ekonomi yang kapitalistik dengan faham ekonomi yang komunistik. Itulah jalan ketiga, jalan trisakti untuk mencapai masyarakat Pancasila.

Namun upaya konsolidasi kedaulatan berbasis geopolitik Nusantara era Soekarno itu ditelikung lagi oleh belorong kapitalisme melalui serangkaian gerakan kontra revolusi (kontrev) para antek Nekolim untuk membentuk rejim militer pro Barat.Rezim yang menyemai ulang kolonialisme imperialisme baru guna menyuburkan benih neoliberalisme (neolib) di Nusantara, dengan cara memanipulasi amanat penderitaan rakyat melalui politik pintu terbuka babak kedua. Sehingga sejak 1965 Indonesia kembali diperdaya oleh kapitalisme global selama 30 tahun lebih. Bahkan gerakan reformasi untuk memulihkan kedaulatan Nusantara pada tahun 1998, bisa dibelokkan oleh para agen neolib yang menunggangi gerakan mahasiswa, sebagaimana tahun 1966 dahulu.

Kini 17 tahun telah berlalu, gerakan reformasi melalui serangkaian amandemen konstitusi akibat euphoria tumbangnya rezim Orde Baru Jendral Soeharto terbukti tak mampu memberi kepastian solusi pemecahan masalah bangsa dan kenegaraan. Tidak bisa tidak ini tentu akibat kebablasan di beberapa sisi dalam melakukan amandemen.

Apalagi amandemen konstitusi itu tanpa didasari pemahaman utuh atas keseluruhan semangat, substansi dan makna yang terkandung dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 yang asli. Padahal untuk memahami ihwal UUD 45, siapa pun yang ingin mengamandemennya wajib terlebih dahulu memahami keseluruhan pemikiran para pendiri negara, sebagaimana tertuang dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dengan kesimpangsiuran tata praja akibat ketidakjelasan hubungan antar lembaga Negara dan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara pasca reformasi ini, maka siapa pun yang menjadi Presiden, MPR, DPR, MK dan sebagainya praktis akan tersesat di belantara keruwetan sendi hukum bernegara berbangsa.

Dan pesan Bung Karno, “Coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyak (baca: sumber daya alam dsb).” akan tetap menjadi pesan yang tidak pernah bias diwujudkan, meski “Apalagi minyak kita punya”.

Setelah 70 tahun merdeka ini, kapankah kita bias memenuhi pesan proklamator, bahwa: “Bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala bidang.”

Artikel ini ditulis oleh: