Jakarta, Aktual.com – Affan Kurniawan tidak pernah bermimpi namanya akan tercatat dalam berita duka bangsa ini. Ia hanya seorang driver ojek online, yang setiap hari menggantungkan hidup pada motor dan aplikasi di ponselnya. Ia bekerja dari subuh hingga larut, mengantar pesanan dan penumpang, demi sesuap nasi.

Namun Kamis, 28 Agustus 2025, jalanan yang menjadi sumber nafkahnya justru menjadi liang lahatnya. Dalam ricuh demonstrasi, Affan tewas mengenaskan. Tubuhnya dilindas kendaraan taktis Brimob. Tragedi yang tak masuk akal di negeri yang mengaku demokratis.

Seorang rakyat kecil, yang mestinya dilindungi, justru dihabisi oleh alat negara. Bukan peluru nyasar, bukan salah sasaran belaka, melainkan roda baja yang menggilas tubuhnya hingga tak bernyawa. Betapa murah nyawa rakyat di negeri ini, ketika keberingasan aparat tak lagi mengenal batas kemanusiaan.

Ironinya, sementara Affan meregang nyawa di jalan, di gedung parlemen para wakil rakyat sibuk dengan dirinya sendiri. Anggaran miliaran untuk fasilitas, mobil dinas, perjalanan dinas ke luar negeri, semuanya mereka setujui dengan wajah tanpa rasa malu. Mereka marah bila disebut arogan, tetapi fakta-fakta hidup mereka menunjukkan sebaliknya.

Affan adalah potret rakyat paling sederhana. Ia tidak pernah meminta istimewa, tidak pernah menuntut kemewahan. Hanya bekerja untuk hidup. Tetapi negara justru memperlakukannya seperti debu yang bisa disapu, dilindas, dilupakan.

Tragedi ini bukan hanya soal Affan. Ia adalah simbol, bahwa roda kekuasaan di negeri ini bisa begitu saja melindas rakyatnya sendiri. Aparat yang brutal di jalan dan wakil rakyat yang pongah di kursi empuk, hanyalah dua sisi dari koin yang sama: Negara yang semakin jauh dari rakyatnya.

Kematian Affan harus jadi pengingat. Demokrasi kehilangan makna jika darah rakyat kecil begitu gampang tumpah di aspal. Jika parlemen terus memanjakan diri dengan privilese, dan aparat terus menjawab kritik dengan represi, maka republik ini hanya akan melahirkan lebih banyak Affan, rakyat kecil yang nyawanya terampas tanpa pernah dihitung dalam catatan sejarah resmi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto