Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh setiap 9 Desember, kembali diperingati dengan kampanye moral dan pidato panjang tentang integritas. Namun, di Sumatera, banjir dan longsor menyampaikan pesan yang lebih jujur daripada spanduk dan seminar.
Di tengah kecemasan warga yang kehilangan rumah, tumbuh kesadaran bahwa korupsi hari ini tidak hanya terjadi dalam ruang tertutup dan transaksi gelap, tetapi juga dalam bentuk yang lebih senyap.
Lenyapnya hutan, turunnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), dan keluarnya izin tambang serta perkebunan yang membentuk lanskap bencana. Banjir di Sumatera bukan kecelakaan alam, tetapi akumulasi kesalahan politik yang telah dilegalkan oleh birokrasi negara.
Data lingkungan menyingkap pola kerusakan yang sistematis. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa selama periode 2016–2025, Sumatera kehilangan sekitar 1,4 juta hektar hutan hanya di tiga provinsi, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, akibat ekspansi konsesi industri dan tambang (WALHI, 2025).
Kerusakan terbesar berada di kawasan hulu DAS, tempat vegetasi seharusnya menjaga keseimbangan hidrologis. Dalam kondisi ini, hujan ekstrem tidak lagi diserap oleh humus dan akar pohon, tetapi berubah menjadi aliran permukaan yang menghantam desa dan kota dalam hitungan jam. Menurut analisis akademik, deforestasi memicu peningkatan signifikan dalam sedimentasi sungai dan menurunkan kapasitas tampung aliran (Siregar et al., 2024).
Keterangan ilmiah tersebut sejalan dengan temuan ahli Universitas Gadjah Mada yang menyebut banjir Sumatera sebagai dampak langsung ‘dosa ekologis’ yang diwariskan dari kebijakan perizinan yang mengabaikan daya dukung ruang. Sementara itu, data satelit menunjukkan hilangnya 4,4 juta hektar hutan di Sumatera dalam periode 2001–2024 (Reuters, 2025).
Angka tersebut mencerminkan kerusakan yang tidak bisa dijelaskan hanya oleh aktivitas ilegal kecil, tetapi oleh konsesi berskala industri. Ini menunjukkan bahwa bencana dimulai bukan di hutan, melainkan di kantor pelayanan perizinan.
Dalam literatur kebijakan publik, korupsi dalam sektor sumber daya alam disebut sebagai state-enabled corruption, yaitu model di mana regulasi, kelonggaran hukum, dan diskresi pejabat negara menjadi pintu masuk bagi perampasan ruang hidup masyarakat (Robinson & Winters, 2011; Znoj, 2020).
Pada tataran praktis, perusahaan hanya dapat beroperasi dalam kawasan hulu, taman nasional, atau DAS strategis jika ada jaminan administratif dan politik dari pejabat berwenang. Dengan kata lain, ketika bukit gundul menyisakan lumpur, itu bukan hanya akibat dari gergaji korporasi, tetapi juga tanda tangan negara.
Bencana Sumatera memperlihatkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasar sebagai penjaga kepentingan publik dan pengelola ruang. Negara memiliki mandat konstitusional untuk melindungi lingkungan hidup (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3), tetapi justru menjadi fasilitator ekspansi izin usaha yang mengubah ruang ekologis menjadi ruang komoditas.
Banyak kepala daerah bangga menyebut dirinya promotor investasi, namun tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap dampak ekologis investasi tersebut. Padahal, studi kebijakan menunjukkan bahwa investasi berbasis ekstraksi tanpa praktik restorasi hanya memindahkan biaya dari perusahaan ke masyarakat dalam bentuk banjir, longsor, dan hilangnya sumber air (Tucker, 2019).
Dalam konteks ini, tanggung jawab negara harus ditempatkan lebih tinggi dibanding korporasi. Korporasi bertindak dalam logika keuntungan, sementara negara memiliki mandat moral dan hukum untuk menilai apakah keuntungan tersebut sebanding dengan kerusakan sosial-ekologis jangka panjang.
Negara memiliki instrumen peta zonasi, data DAS, kajian lingkungan, audit izin, moratorium, tetapi instrumen tersebut sering tidak diterapkan secara konsisten. Ketika pengawasan tidak berjalan, korporasi mengambil ruang yang longgar, yaitu ketika penegakan hukum tumpul, pemodal mengisinya dengan modal politik. Dan ketika data tutupan hutan tertutup, publik kehilangan kendali.
Momen Hari Antikorupsi Sedunia harus diubah menjadi koreksi terhadap tata kelola izin sumber daya alam. Negara harus memulai dari pembukaan data perizinan secara penuh, audit menyeluruh atas izin lama, menghentikan pemberian izin baru di daerah hulu DAS kritis, dan menerapkan standar ketat reklamasi sebagai syarat operasi, bukan pilihan moral perusahaan.
Di sisi lain, korporasi harus diwajibkan membayar kembali biaya ekologis dalam bentuk restorasi nyata, bukan program tanggung jawab sosial perusahaan yang kosmetik. Penegakan hukum harus bergerak dari level operator kecil menuju penyokong struktural di balik meja rapat.
Banjir di Sumatera menunjukkan kebenaran yang sulit disangkal. Lumpur adalah bukti paling telanjang dari korupsi ekologis. Ia membawa informasi lebih jujur daripada laporan audit.
Dalam air keruh yang merendam rumah warga, ada jejak izin yang dikeluarkan tanpa pertimbangan ekologis, ada sinyal pembiaran birokrasi, dan ada kepentingan yang tak pernah transparan.
Hari Antikorupsi Sedunia tidak boleh berhenti pada simbol. Ia harus menjelma menjadi tindakan nyata untuk menata ulang hubungan negara dan korporasi dalam mengelola hutan, gunung, dan sungai.
Sebab ketika hutan terakhir ditebang, kita tidak hanya kehilangan oksigen. Kita kehilangan alasan mengapa negara ini berdiri.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















