Tim penyelamat sedang berupaya mencari para korban yang diduga masih tertimbun di dalam lumpur akibat banjir bandang disertai tanah longsor di wilayah Kashmir, India - foto X

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan pola lama. Negara lambat menutup kerusakan ekologis, tetapi cepat mengatur solidaritas publik. WALHI (2025) mencatat 442 orang meninggal, 402 hilang, dan lebih dari 156 ribu terdampak, sebuah angka yang mereka sebut sebagai akibat kerentanan ekologis akibat deforestasi massif dan ekspansi industri ekstraktif yang dibiarkan negara selama bertahun-tahun.

Di tengah situasi darurat itu, pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf bahwa penggalangan dana sebaiknya mengikuti ketentuan dan izin terlebih dahulu justru memantik ironi.

Alasannya, izin dianggap perlu untuk memastikan audit, terutama untuk nominal di atas Rp 500 juta. Seolah administrasi harus lebih dulu beres ketimbang menyelamatkan penyintas.

Kritik publik pun mengalir deras hingga Mensos meralat ucapannya dan menyebut donasi tetap boleh berjalan tanpa izin.

Namun kerusakan wibawa negara sudah terjadi. Pemerintah tampak lebih lincah mengawasi solidaritas warga daripada membenahi akar bencana. Ironinya, dasar hukum sendiri tidak mewajibkan izin donasi.

Menurut Dr. Mendra Wijaya, UU Keuangan Negara dan PP 29/2021 hanya mensyaratkan pelaporan bantuan kepada BNPB/BPBD, bukan izin sebelum menggalang dana.

Kontrasnya semakin jelas ketika dibandingkan dengan percepatan izin tambang dan pembalakan, dua sektor yang memperparah risiko banjir. WALHI mencatat kehilangan 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar dalam sembilan tahun.

Ketua WALHI Aceh menyebut bencana kini sebagai warisan panjang eksploitasi sejak era Orde Baru. Ahli hidrologi UGM, Hatma Suryatmojo, kepada Tempo (2025) menjelaskan bahwa hilangnya hutan di hulu DAS menghilangkan fungsi penahan air, membuat hujan ekstrem berubah menjadi banjir bandang.

Sementara itu, negara justru mempercepat izin tambang. Studi OSS-RBA menunjukkan izin dapat diproses 40 persen lebih cepat (Husni et al., 2024). Kementerian Investasi (2024) bahkan memuji OSS sebagai instrumen percepatan investasi. Artinya negara gesit ketika menyangkut modal, tetapi ragu ketika rakyat ingin saling membantu.

Di sinilah ironi terbesar muncul. Pemerintah memiliki regulasi setumpuk, tetapi selalu ragu bertindak cekatan. Jika administrasi hanya menjadi pagar, bukan alat untuk mempercepat penyelamatan, maka regulasi tersebut tak lebih dari dekorasi birokrasi.

Banjir Sumatera seharusnya menjadi teguran keras. Jika izin tambang bisa dipercepat, mengapa bantuan kemanusiaan justru diperlambat? Dan jika negara begitu cepat melayani investor di hulu, mengapa ia ragu ketika warga hendak mengulurkan tangan ke hilir?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto