Halmahera adalah pulau yang terus diperas kekayaannya, sementara masyarakatnya menanggung beban yang makin berat. Emas dan nikel menjadikan pulau ini dikenal dunia, tetapi warga lokal hanya mewarisi air keruh, tanah tak lagi subur, laut yang kehilangan ikannya, dan udara yang penuh debu.
Sejak pertambangan emas di Gosowong hingga menjamurnya industri nikel di Weda, pola penderitaan masyarakat tidak pernah berubah, mereka kehilangan ruang hidup, sementara perusahaan dan negara berbicara tentang keuntungan ekonomi.
Warga Gosowong, tempat tambang emas beroperasi sejak akhir 1990-an, masih mengingat sungai-sungai jernih yang kini sulit ditemukan. Mereka harus berjalan lebih jauh hanya untuk mencari sumber air bersih.
Petani mengeluhkan lahan yang kian tidak produktif, seakan tanah kehilangan nyawanya akibat aktivitas tambang. Lubang-lubang raksasa yang ditinggalkan perusahaan berdiri sebagai monumen tentang janji reklamasi yang tak pernah ditepati. Sementara itu, generasi baru tumbuh dalam keterbatasan, jauh dari bayangan kesejahteraan yang dulu dijanjikan.
Penderitaan serupa kini dirasakan di Weda dan sekitarnya, wilayah yang disebut sebagai pusat nikel dunia. Industri nikel hadir dengan skala jauh lebih besar, mengubah bentang alam hanya dalam hitungan tahun.
Hutan tropis ditebang, sungai-sungai dipenuhi lumpur, dan laut berubah keruh. Nelayan di desa-desa pesisir kehilangan hasil tangkapan, bahkan harus meninggalkan profesi turun-temurun mereka.
Dulu cukup sehari di laut untuk bawa pulang ikan, sekarang seminggu pun belum tentu dapat. Pun petani, kehilangan lahan karena tergerus kawasan industri. Warga hidup di tengah asap dan debu, tanpa bisa memilih selain bertahan.
Yang paling menyakitkan adalah rasa kehilangan yang mendalam. Kehilangan air, kehilangan tanah, kehilangan laut, kehilangan masa depan. Masyarakat adat yang dulunya punya hubungan spiritual dengan hutan kini melihatnya lenyap satu per satu.
Anak-anak tumbuh dengan terbatasnya akses terhadap air bersih, sementara orang tua mereka dipaksa menanggung dampak kesehatan dari polusi udara. Di banyak desa, kualitas hidup bukan meningkat, melainkan menurun.
Inti persoalan bukan sekadar pencemaran atau deforestasi, melainkan pengabaian terhadap manusia. Selama lebih dari dua dekade, suara warga Halmahera nyaris tidak pernah sungguh-sungguh didengar.
Ketika mereka menuntut air bersih, jawaban yang datang justru laporan perusahaan tentang CSR. Ketika mereka meminta lahan yang aman, yang datang adalah ekspansi kawasan industri baru. Dan ketika mereka mempersoalkan hilangnya laut yang memberi makan keluarga, yang mereka dapat hanyalah janji perbaikan yang entah kapan diwujudkan.
Katanya Pembangunan…
Inilah wajah pembangunan yang timpang. Angka produksi dan investasi dibicarakan terus menerus oleh perusahaan dan Jakarta. Sementara masyarakat harus bergulat dengan penyakit kulit karena air tercemar, perut kosong karena laut tak lagi memberi hasil, dan tanah yang tak lagi bisa ditanami. Jelas ini bukan pembangunan seperti yang digembar-gemborkan, tapi perampasan.
Sudah dua puluh tahun lebih masyarakat Halmahera bersuara, dan terlalu lama mereka dipaksa menunggu. Kini saatnya pemerintah menempatkan mereka sebagai pusat dari kebijakan lingkungan dan pertambangan. Emas dan nikel mungkin penting untuk pasar global, tetapi kehidupan manusia jauh lebih berharga daripada segalanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto
















