Kunjungan kerja (kunker) anggota Komisi XI DPR RI ke Austria pada akhir Agustus lalu meninggalkan catatan kelam. Seorang mahasiswa Indonesia, Muhammad Athaya Helmi Nasution, 18 tahun, anggota PPI Groningen, meninggal dunia saat bertugas mendampingi rombongan. Bukan hanya duka, insiden ini menimbulkan pertanyaan mendasar, untuk siapa sebenarnya kunker itu diselenggarakan, dan mengapa justru nyawa mahasiswa harus menjadi taruhannya?

Rombongan wakil rakyat didampingi otoritas keuangan negara berangkat dengan legitimasi tugas resmi. Namun, di balik jargon diplomasi dan kerja sama, terselip praktik yang kerap berulang, yaitu pelibatan mahasiswa di luar negeri sebagai pendamping, protokoler dadakan, hingga juru antar-jemput pejabat.

Mereka diberi beban kerja panjang dari pagi hingga malam, tanpa perlindungan, tanpa kontrak yang jelas, bahkan tanpa standar keselamatan. Athaya menjadi korban dari sistem yang abai terhadap batas kemanusiaan.

Hasil otopsi menyebutkan kemungkinan penyebab, kelelahan, heatstroke, kekurangan cairan dan nutrisi. Semua gejala itu bukanlah takdir semata, melainkan buah dari kelalaian. EO, LO, penyelenggara acara, hingga pihak KBRI seharusnya memahami risiko, apalagi ketika mahasiswa masih berusia belia dan statusnya bukan pekerja profesional.

Nyawanya melayang di tengah acara resmi negara, tetapi tanggung jawab justru terombang-ambing. PPI Belanda menuntut akuntabilitas, sementara DPR memilih bungkam. Diamnya para legislator yang mestinya terbiasa bicara lantang soal rakyat,justru menambah luka.

Ini tidak sekedar menyoal teknis perjalanan atau administrasi. Yang dipersoalkan adalah mentalitas kunker DPR yang semakin jauh dari asas kepatutan. Alih-alih memperkuat fungsi pengawasan dan diplomasi ekonomi, kunker kerap terjebak pada pola seremonial, belanja anggaran, dan parade rombongan.

Apakah benar hasil kunker setimpal dengan biaya yang dikeluarkan negara? Dan lebih penting lagi, apakah pantas bila perjalanan itu mengorbankan satu nyawa muda?

Parlemen kita tengah diuji, berani bertanggung jawab atau terus menutup diri. Insiden Austria ini harus menjadi titik balik. DPR wajib membuka fakta, menindak pihak yang lalai, serta memastikan standar perlindungan bagi siapa pun yang dilibatkan dalam kegiatan resmi.

Tanpa itu, publik hanya akan melihat kunker sebagai jalan-jalan berbayar negara yang menyisakan korban. Nyawa Athaya tidak boleh redup sia-sia di balik diplomasi basa-basi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto