Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memberi sinyal penolakan terhadap wacana pemberian tax amnesty layak diapresiasi. Keberanian ini menandai upaya mengembalikan ruh keadilan dalam sistem perpajakan yang selama ini kerap dipersepsikan berat sebelah. Di satu sisi, masyarakat kecil dipaksa taat membayar pajak tanpa ampun. Di sisi lain, kelompok berpunya masih diberi pintu keluar melalui pengampunan yang berulang-ulang.
Tax amnesty pernah dianggap solusi instan untuk menarik dana yang tersimpan di luar negeri atau harta yang belum tercatat. Namun, berkali-kali pula kebijakan itu meninggalkan jejak moral hazard. Pesannya jelas, “jangan takut melanggar, nanti ada amnesti.”
Siklus inilah yang disinyalkan untuk ditolak Purbaya Yudhi Sadewa. Dengan menutup pintu tax amnesty, pemerintah menunjukkan bahwa kepatuhan pajak bukan sekadar opsi, melainkan kewajiban yang tak bisa ditawar.
Sikap Menkeu bukan semata soal angka penerimaan negara, melainkan tentang membangun budaya taat. Keadilan pajak tidak lahir dari pengampunan berulang, tapi dari konsistensi menegakkan aturan. Mereka yang menunda atau menghindar dari kewajiban pajak semestinya tidak lagi mendapat karpet merah. Negara butuh kepastian fiskal, bukan rayuan sekali lewat.
Tentu, sinyal penolakan tax amnesty harus dibarengi langkah konkret. Direktorat Jenderal Pajak harus memperkuat basis data, menutup celah pelaporan, dan memperketat pengawasan.
Di sisi lain, pemerintah tetap dituntut memberi kepastian hukum, pelayanan yang sederhana, serta kepastian penggunaan pajak untuk kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, kepatuhan tumbuh bukan karena ancaman, tetapi karena rasa percaya.
Sinyal yang dikirimkan Purbaya Yudhi Sadewa ini adalah momentum. Jangan biarkan ia sekadar jadi headline sesaat. Saatnya pemerintah membuktikan, bahwa keadilan pajak tidak bisa lagi dibeli dengan program amnesti.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















