Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan janji besar, memberi asupan sehat bagi jutaan anak Indonesia, dari sekolah dasar hingga menengah. Diluncurkan pada 6 Januari 2025 dengan ratusan dapur yang beroperasi serentak, MBG diharapkan menjadi investasi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Namun sembilan bulan berjalan, rentetan kasus keracunan massal yang melibatkan ratusan siswa di berbagai daerah mengungkap satu hal bahwa program ini berdiri di atas fondasi rapuh.
Data resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) per Mei 2025 mencatat sudah ada 17 kasus keracunan terkait menu MBG. Setelah itu, kejadian-kejadian besar terus bergulir. 140 siswa di Kupang, 212 siswa di Sleman, belasan di Lamongan, ratusan di Garut, hingga 157 siswa di Banggai Kepulauan yang harus dirawat akibat dugaan lauk ikan tak layak.
Di Sumbawa, indikasi bakteri E. coli ditemukan. Sementara di Bandung, sebuah dapur MBG bahkan disegel warga karena bau menyengat dan operasi tanpa henti di tengah permukiman.
Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Di balik setiap kasus ada anak-anak yang muntah, pusing, hingga terpaksa dirawat. Ada orang tua yang cemas, ada sekolah yang terganggu proses belajarnya. Ini adalah deretan tanda bahaya yang nyata, bukan data dingin di laporan birokrasi.
Polanya pun jelas. Pertama, sumber protein hewani seperti ikan dan ayam berulang kali menjadi titik rawan. Kedua, pergantian pemasok tanpa audit ketat membuka celah kontaminasi.
Ketiga, tata kelola dapur dan zonasi diabaikan, sampai rumah di tengah pemukiman dipaksa menjadi pabrik makanan ribuan porsi per hari. Dan kini, satu dimensi baru ikut menguat, yaitu wadah makanan. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU menolak penggunaan food tray impor dari China yang disebut murah tetapi tidak food grade, bahkan dikabarkan diproduksi dengan minyak babi.
Kasus-kasus ini bukan insiden terpisah. Ia menunjukkan kegagalan sistemik dalam manajemen mutu MBG. Pemerintah tergesa mengejar skala, tetapi mengabaikan prasyarat keamanan pangan. Ironisnya, justru anak-anak sebagai kelompok yang hendak dilindungi, menjadi korban dari kelemahan rantai pasok, pengawasan dapur, hingga kelalaian memilih alat saji.
Sudah waktunya pemerintah berhenti melihat insiden-insiden ini sebagai kecelakaan kecil. Kita sedang menghadapi pola krisis. Tanpa evaluasi menyeluruh, MBG bukan hanya kehilangan legitimasi, tapi berubah menjadi bumerang politik dan sosial.
Ada tiga langkah yang tak bisa ditunda. Pertama, audit nasional pemasok dan dapur, termasuk sertifikasi ulang semua tray dan peralatan makan agar dipastikan food grade. Kedua, pengaturan zonasi dan izin dapur harus tegas. Tidak boleh ada lagi dapur berkapasitas ribuan porsi berdiri di tengah pemukiman tanpa fasilitas sanitasi. Ketiga, terapkan sistem recall nasional yang transparan, sehingga publik tahu persis batch makanan mana yang aman, mana yang tidak.
Tujuan mulia MBG adalah membangun generasi sehat dan kuat. Tetapi jika keamanan pangan diabaikan, maka program ini justru menanam benih sakit pada anak-anak kita. Angka kecelakaan MBG bukan sekadar statistik.
Di baliknya ada wajah-wajah murid yang seharusnya mendapat gizi, bukan derita. Pemerintah harus menjadikan keselamatan pangan sebagai fondasi utama MBG, bukan sekadar pelengkap prosedur. Jangan sampai niat menuju Indonesia Emas justru berubah menjadi Indonesia Cemas.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















