Sudah berbulan-bulan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penyelidikan dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama. Namun hingga hari ini, publik masih bertanya-tanya, siapa sebenarnya tersangka dalam perkara yang menyeret nama pejabat tinggi dan jaringan travel haji itu?

KPK sudah memeriksa banyak pihak. Mulai dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (kala itu berada di bawah Kemenag), hingga sejumlah pengusaha penyelenggara perjalanan haji. Sejumlah aset juga telah disita, mulai dari rumah mewah hingga rekening pribadi. Namun, tak satu pun nama resmi diumumkan sebagai tersangka. Di tengah derasnya bukti, yang tersisa justru muncul kabut ketidakpastian.

Publik boleh menduga, tapi lembaga antirasuah tak boleh memberi ruang pada dugaan bahwa hukum sedang menimbang arah angin politik. Kasus kuota haji adalah simbol bagaimana kejahatan korporasi dan kekuasaan bisa bersekutu, memanfaatkan celah kebijakan publik yang seharusnya untuk pelayanan umat, bukan keuntungan pribadi.

Tambahan 20 ribu kuota haji pada 2023–2024 memang semula dimaksudkan untuk memperpendek antrean jamaah. Namun, di balik niat baik itu, diduga tumbuh pasar gelap kuota, dijual oleh oknum birokrasi melalui asosiasi travel dengan harga ribuan dolar per kepala. Skema yang memalukan di negeri mayoritas muslim, bahkan ibadah haji pun menjadi komoditas oleh para pencari rente.

Yang membuat kasus ini lebih menyedihkan adalah diamnya sistem pengawasan internal. UU Penyelenggaraan Haji telah membatasi kuota khusus maksimal 8 persen, tapi tambahan kuota didistribusikan separuh-separuh antara reguler dan khusus. Kejanggalan sebesar itu tak mungkin luput dari pandangan birokrasi, kecuali ada konsensus diam untuk menutup mata.

Lambannya KPK menetapkan tersangka membuat kasus ini terasa seperti ulangan lama. Penegakan hukum yang berhenti di tengah jalan setiap kali menyentuh lingkaran pejabat atau pengusaha besar.

Bukti sudah ada, pemeriksaan sudah jalan, bahkan ada tokoh publik yang disebut telah mengembalikan uang hasil pengutipan. Tetapi publik tetap digantung dengan kalimat klasik, “penetapan tersangka hanya soal waktu,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto, Senin (6/10/2025).

Hukum tidak bisa bekerja dengan teka-teki. Ketika transparansi disembunyikan di balik alasan teknis, yang sesungguhnya hilang adalah kepercayaan publik. Jika KPK ingin memulihkan kepercayaan itu, maka langkah pertama adalah kejujuran. Buka ke publik siapa yang bertanggung jawab atas penyimpangan ini.

Kasus kuota haji bukan sekadar perkara suap. Ia adalah uji moral bagi negara, apakah hukum berani menembus batas sakral kekuasaan dan uang. Jika kejahatan di sektor yang menyangkut ibadah suci saja tidak bisa diselesaikan dengan tegas, bagaimana publik bisa percaya pada kesungguhan pemberantasan korupsi di sektor lain?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto

1 KOMENTAR