Ilustrasi: SOROTAN: Mutasi, Sinyal Suksesi di Tubuh Polri?

Rotasi besar-besaran di tubuh Polri pada 5 Agustus 2025 memberi sinyal kuat bahwa suksesi kepemimpinan di institusi Bhayangkara telah memasuki babak baru. Dalam satu Surat Telegram Rahasia, belasan posisi strategis diganti.

Komjen Dedi Prasetyo naik menggantikan Komjen Ahmad Dofiri sebagai Wakapolri. Komjen Wahyu Widada berpindah dari Kabareskrim ke Irwasum, sementara Komjen Syahardiantono mengisi kursi Kabareskrim yang ditinggalkannya.

Komjen Akhmad Wiyagus menempati jabatan Kabaintelkam dan Komjen Fadil Imran digeser menjadi Asisten Operasi Kapolri. Tidak berhenti di sana, tak kurang dari sebelas Kapolda pun berganti, mulai dari Polda Metro Jaya, Aceh, Banten, Maluku, hingga Sulawesi Barat. Publik yang mengikuti dinamika ini tentu segera menghubungkan mutasi besar tersebut dengan bursa calon Kapolri berikutnya.

Secara formal, rotasi ini disebut sebagai mutasi rutin. Namun pola pengisian kursi kunci justru memperlihatkan arah yang lebih dalam. Selama ini jabatan Wakapolri, Kabareskrim, Irwasum, dan Kapolda besar seperti Metro Jaya dikenal sebagai jalur cepat menuju posisi orang nomor satu di Polri.

Maka wajar bila publik membacanya sebagai etalase kandidat, siapa yang sedang dipoles, siapa yang sedang diuji, dan siapa yang perlahan tersisih.

Konteks politik nasional semakin mempertebal tafsir itu. Penunjukan Kapolri dalam sejarahnya selalu melibatkan restu politik, meski secara prosedur dibungkus mekanisme administratif melalui fit and proper test DPR.

Tidak berlebihan jika mutasi ini disebut sebagai bagian dari manuver elite, sebuah rekayasa halus untuk mengamankan kepentingan politik pada fase krusial pasca-pemilu.

Di tengah konfigurasi baru itu, dua nama mulai ramai diperbincangkan. Adalah Irjen Rudi Darmoko dan Komjen Rudy Heriyanto. Keduanya sama-sama Rudi, tetapi dengan jalur dan modal berbeda.

Rudi Darmoko, peraih Adhi Makayasa Akpol 1993, baru saja ditugaskan sebagai Kapolda NTT setelah sebelumnya menjabat Kasespim Lemdiklat Polri. Sebagai lulusan terbaik angkatan, ia memiliki legitimasi prestasi akademis sekaligus pengalaman membina calon-calon pemimpin Polri.

Usianya yang lahir pada 1971 masih relatif muda, memberi ruang masa bakti yang panjang. Namun, ia masih berpangkat Irjen, satu tingkat di bawah Komjen, sementara kursi Kapolri secara preseden hampir selalu diisi perwira bintang tiga yang sebelumnya menempati jabatan inti seperti Wakapolri, Kabareskrim, atau Kapolda Metro.

Dengan demikian, jalan Darmoko lebih mirip investasi jangka menengah. Artinya potensi besar tetapi ia masih memerlukan satu loncatan strategis ke pangkat Komjen agar benar-benar masuk bursa.

Berbeda dengan Darmoko, Rudy Heriyanto sudah mencapai pangkat Komjen. Kariernya lintas bidang. Heriyanto pernah menjadi Dirtipideksus Bareskrim, Kadivkum, dan Kapolda Banten. Pada Desember 2023, ia ditarik ke birokrasi sipil sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Presiden.

Portofolionya terbilang lengkap, mulai dari reserse, hukum, hingga pengalaman manajerial di kementerian. Heriyanto bukan lulusan Akpol melainkan Sepa Polri 1993, fakta yang tidak menjadi halangan hukum, tetapi dalam tradisi internal cukup jarang menghasilkan Kapolri.

Lebih dari itu, saat ini ia berada di luar garis komando operasional Polri, sehingga kansnya akan sangat bergantung pada apakah ia bisa kembali ke pos strategis di Mabes atau tidak. Jika re-entry itu terjadi, ia bisa menjadi kuda hitam yang serius.

Rotasi Agustus lalu memperlihatkan bahwa pucuk kursi strategis kini dikuasai oleh Dedi Prasetyo sebagai Wakapolri, Syahardiantono sebagai Kabareskrim, dan Wahyu Widada sebagai Irwasum.

Pola historis menunjukkan bahwa salah satu dari posisi ini biasanya melangkah ke kursi Kapolri. Namun politik tidak selalu linear. Presiden, sebagai pemegang hak prerogatif, bisa saja memilih jalur berbeda.

Nama Rudy Heriyanto dengan pangkat Komjen dan rekam jejak hukum yang kuat bisa menjadi alternatif jika kepentingan politik menuntut figur yang mampu menjembatani Polri dengan birokrasi sipil.

Sementara itu, nama Rudi Darmoko mungkin lebih dilihat sebagai generasi pelapis yang disiapkan untuk periode selanjutnya, terutama jika ia dalam satu atau dua tahun mendatang melompat ke pangkat Komjen.

Persoalan utama dalam dinamika ini bukan hanya siapa yang akan naik, tetapi bagaimana publik membaca pola relasi Polri dengan kekuasaan. Surat Telegram Rahasia yang menjadi instrumen mutasi jarang sekali menyebutkan alasan perpindahan. Ruang kosong ini memunculkan spekulasi apakah promosi didasari prestasi, loyalitas, atau tekanan politik.

Dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, kedekatan Polri dengan kekuasaan selalu menjadi pola yang berulang. Meskipun reformasi memisahkan Polri dari ABRI pada tahun 2000 dengan semangat membangun polisi sipil yang demokratis, praktik di lapangan kerap masih sarat nuansa otoriter dan transaksional. Demokrasi sering kali hanya menjadi bungkus, sementara di dalamnya terjadi kompromi politik.

Jabatan Kapolri dengan demikian tidak sekadar posisi profesional, melainkan simbol politik yang mempertemukan kepentingan hukum dan elite. Mutasi besar seperti yang terjadi Agustus lalu akan terus dibaca dalam kerangka itu.

Publik akan menilai bukan hanya siapa yang dipromosikan, tetapi juga siapa yang mendapat dukungan politik. Demokrasi sejati hanya bisa diwujudkan bila Polri berdiri sebagai penjaga hukum, bukan pemain dalam gelanggang kekuasaan.

Mutasi kali ini pada akhirnya akan dinilai bukan dari daftar nama yang bergeser, melainkan dari arah yang dituju, apakah Polri melanjutkan reformasi menuju polisi modern dan profesional, atau justru kembali ke pola lama yang sekadar dibungkus jargon demokrasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto