Ilustrasi: Pajak Ditanggung Negara, Beban Ditanggung Rakyat

Sejarah perpajakan selalu terkait erat dengan persoalan keadilan sosial. Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, misalnya, dipicu oleh ketidakadilan ketika kaum bangsawan dan rohaniawan dibebaskan dari kewajiban pajak, sementara rakyat jelata menanggung beban berat atas nama negara (Doyle, 1989). Dari sinilah lahir gagasan bahwa pajak harus adil dan proporsional, sesuai asas equity.

Namun di era modern, isu keadilan pajak masih relevan, termasuk di Indonesia. Contohnya terlihat dari posisi Aparatur Sipil Negara (ASN) birokratis dibandingkan pekerja swasta.

Pajak penghasilan ASN pada dasarnya dibayarkan oleh negara melalui skema tunjangan pajak, sehingga ASN tidak merasakan beban pembayaran secara langsung seperti masyarakat sipil (Nugroho, 2021). Sementara itu, pekerja swasta membayar pajak dari penghasilan mereka tanpa subsidi, memperkuat kesan ada keistimewaan fiskal bagi ASN birokratis.

Perbedaan signifikan muncul saat membandingkan ASN birokratis dengan profesi pelayanan publik seperti guru ataupun guru honorer di pedalaman.

Guru sering mengabdi dengan fasilitas terbatas, bahkan bekerja dengan gaji di bawah upah minimum, sementara ASN birokratis menerima tunjangan dan pajak yang ditanggung negara (Setiawan, 2020). Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan serius soal keadilan dalam struktur fiskal.

Pentingnya legitimasi pajak dan keadilan fiskal kembali menjadi sorotan saat kebijakan kontroversial muncul di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Agustus 2025 ini. Bupati Sudewo mengumumkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen. Ini adalah kenaikan pertama dalam 14 tahun, menyusul rendahnya penerimaan daerah (Tempo, 2025).

Kebijakan yang dikeluarkan ini memicu protes luas dari warga, terutama petani dan masyarakat menengah ke bawah, karena dianggap memberatkan. Aksi protes yang melibatkan ribuan orang meledak pada 13 Agustus, memaksa pemerintahan membatalkan kenaikan pajak dan menjanjikan pengembalian kelebihan pembayaran.

Situasi di Pati dan perdebatan tentang pajak ASN birokratis mencerminkan benang merah, bahwa publik hanya mau membayar pajak ketika merasa peraturannya adil dan mendatangkan manfaat nyata.
Guru yang mengabdi dengan pengorbanan moral mendapatkan empati, sementara birokrasi yang mendapat subsidi kontra pajak dinilai kurang adil. Konflik di Pati menunjukkan bahwa ketimpangan representasi dan beban pajak dapat mengikis kepercayaan publik dan legitimasi negara secara sosial.Pelajaran besar dari Revolusi Prancis hingga peristiwa Pati, adalah bahwa pajak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan kontrak sosial yang membutuhkan legitimasi moral.

Untuk mereformasi sistem fiskal di Indonesia, perlu adanya diferensiasi fiskal berdasarkan kontribusi dan beban kerja, serta transparansi penuh dalam komunikasi kebijakan publik, agar pajak tetap menjadi simbol kebersamaan dan keadilan.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto