Budi Arie Setiadi sudah resmi meninggalkan panggung Istana. Reshuffle terbaru menutup pintu baginya, seakan memberi pesan bahwa masa loyalis Jokowi sudah habis di lingkaran kekuasaan. Namun, bagi publik, keluarnya Budi Arie dari kabinet bukanlah akhir cerita. Justru babak baru menanti, dan babak itu bukan lagi di ruang rapat menteri, melainkan di ruang pemeriksaan Kejaksaan.

Ironi itu terasa begitu kental. Beberapa bulan lalu, Budi Arie berdiri lantang mengutuk praktik judi online. Ia berbicara keras tentang ancaman sosial, ekonomi, dan moral yang ditimbulkan. Kini, publik mendengar kabar bahwa namanya justru disebut-sebut dalam pusaran kasus yang sama. Satire, pemberantas atas nama penjaga moral justru berkongsi dengan yang diberantas, judi online.

Prabowo sudah merapikan barisan melalui reshuffle. Loyalis Jokowi yang dulu ramai di lingkar kekuasaan mulai digantikan oleh nama-nama yang lebih dekat dengan Gerindra. Dalam bahasa politik, ini disebut konsolidasi. Dalam bahasa rakyat, sederhana saja, siapa yang tidak loyal, siap-siap terdepak.

Budi Arie masuk daftar itu, dan penyingkirannya dibaca sebagai bagian dari agenda bersih-bersih. Tetapi, bersih-bersih politik saja tidak cukup. Publik menunggu bersih-bersih hukum.

Di sinilah Kejaksaan ditaruh di garis depan. Rakyat ingin tahu apakah aparat hukum berani memanggil seorang mantan menteri yang kini sudah kehilangan tameng jabatan? Ataukah kasus judi online ini hanya akan jadi bahan retorika, berhenti pada slogan-slogan ‘komitmen pemberantasan’ tanpa menyentuh aktor politik yang disebut-sebut ikut bermain?

Jangan sampai Kejaksaan menjadi penonton pasif, menunggu aba-aba dari atas, sementara publik menunggu kepastian di bawah.

Kekecewaan rakyat terhadap elite sudah menumpuk. Demonstrasi menolak fasilitas DPR yang berujung ricuh membuktikan bahwa masyarakat sudah muak pada privilese politik. Korban jiwa jatuh, dan dalam suasana seperti ini, pemeriksaan terhadap Budi Arie bisa menjadi simbol bahwa hukum tidak pilih kasih, bahwa pembersihan kabinet bukan sekadar rotasi kursi, melainkan juga pembersihan moral.

Bayangkan satire yang muncul bila Kejaksaan tak kunjung bertindak. Budi Arie yang sudah didepak dari Istana justru bisa bebas berkeliaran, sementara rakyat kecil yang main judi online recehan di kampung-kampung dengan cepat ditangkap. Hukum tegas untuk yang lemah, longgar untuk yang berkuasa.

Publik jelas tidak akan diam, mereka akan menertawakan sistem yang hanya berani menendang pion, tapi ragu menyentuh menteri.

Dalam situasi ini, bola sudah bulat di tangan Kejaksaan. Publik menunggu ketegasan. Bila Budi Arie memang bersih, biarkan ia membuktikan diri di kursi pemeriksaan. Bila sebaliknya, proses hukum harus berjalan tanpa basa-basi politik.

Jangan biarkan alasan klasik masih kurang bukti atau menunggu momentum menjadi tameng. Momentum sesungguhnya adalah sekarang, ketika rakyat sedang marah dan menuntut keadilan.

Reshuffle kabinet memang penting untuk menata ulang loyalitas politik. Tetapi legitimasi pemerintahan tidak bisa hanya dibangun dari kekompakan partai. Ia dibangun dari rasa percaya rakyat bahwa hukum benar-benar ditegakkan. Tanpa itu, reshuffle hanya terlihat sebagai pertunjukan kekuasaan, bukan restorasi moral.

Budi Arie sudah tak lagi duduk di kursi empuk kabinet. Istana menutup pintu, tapi Kejaksaan tampaknya sedang menyiapkan kursi baru untuknya: kursi pemeriksaan. Publik menunggu, apakah mantan menteri yang dulu gagah menyebut diri pembela rakyat itu masih ingat jalan menuju pengadilan, atau justru pura-pura tersesat di lorong kekuasaan?

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto