Hangatnya pemberitaan kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun perlahan meredup, meski Mahkamah Agung pada Juli 2025 menolak kasasi terpidana Harvey Moeis dan menguatkan vonis 20 tahun penjara. Di balik sorotan publik yang beralih, penegakan hukum atas kejahatan korporasi (corporate crime) dalam perkara ini menjadi tantangan serius.
Kejaksaan Agung terakhir kali, pada 2 Januari 2025, mengumumkan penetapan lima korporasi sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022. Kelimanya adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), PT Sariwiguna Binasentosa (SBS), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Mereka disangka terlibat persekongkolan dengan jajaran direksi PT Timah dan pejabat Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) secara tidak sah. Dokumen tersebut digunakan untuk melegalkan penjualan timah ilegal yang diambil dari wilayah IUP PT Timah.
Direktur Utama PT Timah kala itu, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, bersama sejumlah pihak internal perusahaan dan mitra smelter, disebut menutupinya dengan skema sewa-menyewa peralatan pengolahan timah. Modus ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp3.263.938.131.14, terdiri dari:
- Kerugian atas kerja sama sewa-menyewa alat peleburan: Rp2,28 triliun
- Kerugian pembayaran bijih timah kepada mitra tambang: Rp26,64 triliun
- Kerugian lingkungan akibat penambangan ilegal: Rp271,06 triliun
Kerugian lingkungan menjadi sorotan tersendiri karena kewajiban pemulihan dibebankan pada PT Timah sebagai pemegang IUP.
Hingga penetapan itu, jumlah tersangka dalam perkara ini mencapai 22 orang, termasuk lima korporasi dan satu orang dalam perkara obstruction of justice. Barang bukti yang disita pun mencakup ratusan dokumen, barang bukti elektronik, lima smelter, aset tanah, uang dalam berbagai mata uang asing, logam mulia, hingga alat berat.
Meski demikian, perkembangan penyidikan terhadap kelima korporasi tersebut nyaris tak terdengar lagi dalam pemberitaan, memunculkan kekhawatiran publik bahwa pengusutan kejahatan korporasi bisa terhenti di tengah jalan.
Kasus PT Timah menjadi ujian besar bagi aparat penegak hukum, apakah keberanian menjerat pelaku kelas korporasi dapat terus dijalankan atau justru menguap seiring turunnya suhu pemberitaan.
Kendala Penanganan Kejahatan Korporasi
Meski korporasi kerap menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam perkara korupsi, penegakan hukum terhadap mereka di Indonesia masih jarang terjadi. Kendala utama terletak pada keraguan penyidik dan jaksa melimpahkan perkara karena sulit merumuskan dakwaan, yang kerap membuat majelis hakim membebaskan korporasi.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 hadir memberi panduan pemanggilan, syarat dakwaan, pemisahan pertanggungjawaban pidana antara pengurus dan badan hukum, hingga jenis sanksi, namun penerapannya masih bergantung pada pemahaman dan keberanian aparat.
Pemidanaan korporasi pun memerlukan kehati-hatian mengingat dampak sosial-ekonomi yang bisa timbul, sehingga koordinasi, pelatihan, dan kesamaan cara pandang antarpenegak hukum menjadi kunci untuk menembus kebuntuan pemberantasan kejahatan korporasi.
Mengapa Penting?
Kejahatan korporasi seperti pembakaran hutan atau pertambangan menimbulkan dampak luas bagi jutaan orang, mulai dari kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, hingga kerugian ekonomi.
Namun penegakan hukum di Indonesia masih lemah karena tanggung jawab perusahaan jarang disentuh dan korban tidak langsung belum diakomodasi undang-undang. Prof. Arief Amrullah dikutip dalam laman hukumonline.com (2016) menilai, lemahnya penegakan ini dipengaruhi sistem politik yang berpihak pada korporasi besar, sementara mekanisme seperti class action, citizen lawsuit, atau small claim court belum optimal digunakan.
Ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, pembuat kebijakan, dan advokat untuk memperjuangkan hak korban, sebab tanpa dukungan dan pendampingan yang kuat, korban akan sulit memperoleh keadilan sementara kerusakan akibat kejahatan korporasi terus berulang.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















