Sejak diumumkan dalam visi besar pemerintahan terpilih, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ditujukan sebagai solusi atas persoalan gizi anak Indonesia. Namun dalam praktiknya, deretan insiden keracunan, distribusi yang tidak layak, hingga infrastruktur dapur yang belum memenuhi standar justru mencoreng niat baik itu.
Uji coba MBG dimulai pada Oktober 2024, dengan menyasar sekolah-sekolah di daerah tertinggal dan 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Tahap awal dilakukan terbatas, namun mulai 6 Januari 2025, program ini dijalankan lebih luas dengan menggandeng Badan Gizi Nasional (BGN) dan jaringan penyedia dapur sekolah serta swasta. Setidaknya 2.500 sekolah menerima menu makan siang gratis setiap hari.
Namun sejak awal penerapan, celah-celah teknis dan lemahnya pengawasan perlahan menggerogoti kredibilitas program. Sejumlah kasus keracunan massal mulai terjadi hanya dalam hitungan pekan.
Baca Juga:
Gizi Berujung Gawat, Keracunan Massal Siswa NTT Diduga dari Menu MBG
Deretan Kasus dari Jawa ke Timur Indonesia
Insiden pertama mencuat di Sukoharjo, Jawa Tengah, saat 40 siswa SDN Dukuh 03 mengeluh sakit setelah menyantap ayam goreng yang ternyata kurang matang (13 Januari 2025). Tak lama, di Cianjur, puluhan siswa mengalami keluhan serupa. Di Batang, 60 siswa dirawat karena makanan diduga basi akibat distribusi terlambat.
Sejak Januari hingga Mei 2025, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 17 kasus di 10 provinsi, dengan total lebih dari 1.300 siswa terdampak. Bahkan Komnas HAM telah memberi catatan bahwa program ini bisa berdampak serius pada hak kesehatan anak bila tidak dibenahi secara sistemik.
Kejadian terbaru dan paling mencolok terjadi di NTT, Juli 2025. Di Kupang, 140 siswa SMPN 8 dilarikan ke rumah sakit usai menyantap menu MBG yang terdiri dari tahu dan sayur.
Sehari kemudian, giliran 75 siswa SMA dan SMK di Sumba Barat Daya mengalami mual dan lemas akibat konsumsi makanan dari dapur MBG. Pemerintah daerah harus menanggung biaya perawatan dan menyetop distribusi makanan sementara.

Dapur Tak Siap, Prosedur Tak Tegas
Mayoritas insiden MBG berasal dari dapur yang tidak memenuhi standar Good Manufacturing Practice (GMP) dan tidak menjalankan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Menurut evaluasi BPOM, banyak dapur penyedia menu MBG tidak memiliki fasilitas cold storage, standar kebersihan minim, dan tidak ada pengawasan yang berlapis.
Baca Juga:
DPR Soroti Keracunan Massal di Kupang, Pengawasan Program MBG Dinilai Lemah
Beberapa penyedia bahkan mencampur makanan dari sisa menu pagi ke siang, atau memasak sejak dini hari untuk dikirim ke sekolah ratusan kilometer jauhnya. Dalam kasus Bombana dan Nunukan, ayam goreng dan lauk berkuah ditemukan sudah basi saat tiba di sekolah.
Badan Gizi Nasional (BGN) telah melakukan penarikan vendor di beberapa wilayah dan menjanjikan pelatihan ulang. Namun tak sedikit pihak menilai akar masalahnya bukan semata pada dapur, melainkan kebijakan terburu-buru yang tidak didukung infrastruktur gizi dan pengawasan daerah.
DPR Desak Satgas Pengawasan Usai Tragedi Kupang
Kasus keracunan massal di Kupang memantik kritik tajam dari DPR. Wakil Ketua Komisi IX, Yahya Zaini, menilai bahwa lemahnya kontrol lapangan menjadi akar dari insiden yang melibatkan lebih dari seratus siswa. Ia menegaskan bahwa Badan Gizi Nasional belum menjalankan fungsi pengawasan secara sistemik dan menyeluruh.
Melihat minimnya keterlibatan lembaga teknis seperti Pemda, Puskesmas, BPOM, hingga sekolah, Yahya mendesak pembentukan satuan tugas khusus pengawasan. Ia mengingatkan bahwa skala pelaksanaan program akan semakin meluas seiring bertambahnya dapur SPPG, sehingga kontrol mutu perlu diperkuat sejak dini.
Dari hasil pantauan langsung, Yahya menyebut belum ada mekanisme pengawasan bersama di daerah. Ia menyarankan agar kegiatan operasional SPPG yang terdampak dihentikan sementara sampai ada kepastian sistem produksi diperbaiki secara menyeluruh.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















