Jakarta – Aktual.com, Raya, balita dari Sukabumi, meninggal dunia bukan semata karena cacingan, melainkan karena negara gagal melindungi hak paling dasar warganya. Tubuh mungilnya dipenuhi cacing gelang. Lebih dari satu kilogram cacing hidup berhasil dikeluarkan sebelum ia mengembuskan napas terakhir.
Hampir seabad setelah republik ini berdiri, seorang anak masih bisa mati karena penyakit yang mestinya mudah dicegah. Apa bedanya kita dengan bangsa yang gagal?
Raya lahir dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja serabutan, tanpa kepastian upah. Ibunya diduga mengalami gangguan mental, sehingga tidak sepenuhnya mampu merawat anaknya dengan baik.
Rumah mereka panggung kayu dengan lantai tanah, tanpa akses air bersih dan sanitasi. Dalam kondisi itu, cacing bukan sekadar ancaman, tetapi bagian dari realitas hidup sehari-hari. Raya tumbuh dalam lingkaran rapuh kemiskinan, kesehatan yang buruk, dan keluarga yang rentan.
Padahal, konstitusi kita tegas. UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kata dipelihara tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sebagai kewajiban negara untuk hadir secara konkret.
Fakir miskin dan anak-anak yang lahir dari keluarga seperti Raya seharusnya mendapat perhatian penuh gizi yang cukup, lingkungan sehat, serta pendampingan sosial bagi orangtua yang rentan.
Namun pasal itu hanya menjadi hiasan di teks Undang-Undang Dasar. Dalam kenyataannya, program pemerintah sekadar rutinitas administratif. Raya memang mendapat obat cacing dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari posyandu.
Tetapi makanan itu habis dalam dua hari, sementara berat badannya tetap gizi buruk. Negara hadir sebentar, mencatat, lalu pergi. Raya tetap hidup dengan perut penuh cacing, hingga akhirnya mati dalam kesepian pelayanan publik.
Kontras sekali dengan para legislator yang justru sibuk mengklarifikasi soal gaji dan tunjangan. Mereka berkata gaji tidak naik, hanya tunjangan yang bertambah. Pernyataan itu terdengar seperti satire di tengah kabar kematian anak miskin.
Bagaimana tidak, tunjangan perumahan mereka bisa Rp50 juta per bulan, ditambah transportasi, komunikasi, hingga asisten pribadi. Total penghasilan bisa menembus Rp100 juta lebih per bulan. Bandingkan dengan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat yang hanya Rp2,1 juta. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, melainkan jurang sosial yang nyata.
Dan jangan lupa, semua uang itu bersumber dari rakyat. Dari pajak yang dipungut tanpa henti. PPN di belanja harian, PPh di slip gaji, PBB di tanah warisan, hingga pungutan plastik di minimarket.
Pajak yang mestinya menjamin hak-hak dasar justru mengalir deras ke fasilitas mewah para pejabat. Subsidi kendaraan listrik bisa melonjak menjadi Rp7 triliun, tapi anggaran untuk memperbaiki sanitasi dasar dan layanan kesehatan masyarakat miskin tetap seret.
Jika pejabat bisa tinggal di rumah sewaan Rp50 juta per bulan, mengapa seorang anak harus mati di rumah tanah dengan ibu yang sakit dan ayah yang tak berdaya?
Raya tidak mati karena cacing. Ia mati karena politik anggaran yang salah prioritas. Ia mati karena pelayanan publik yang buruk, yang lebih fasih menyusun laporan ketimbang menyelamatkan nyawa. Ia mati karena konstitusi yang menjanjikan perlindungan bagi fakir miskin dan anak terlantar hanya berhenti sebagai retorika.
Kematian Raya adalah cermin. Ia memperlihatkan bahwa republik ini masih rela membiarkan anak miskin dikorbankan demi kenyamanan elit. Bahwa pajak rakyat lebih cepat cair untuk tunjangan pejabat daripada untuk perbaikan gizi. Bahwa pelayanan publik lebih sibuk menjaga citra ketimbang melindungi yang paling rentan.
Setiap kali pejabat menepuk dada soal pembangunan, cacing di perut Raya menertawakan kebohongan itu. Dan setiap kali negara memungut pajak dengan dalih demi kesejahteraan rakyat, wajah ibu Raya yang sakit dan ayahnya yang lelah seharusnya menghantui nurani bangsa, bahwa janji konstitusi telah gagal ditepati.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















