Sejak kelahirannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengemban cita-cita mulia sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum bagi masyarakat. Namun perjalanan sejarah menunjukkan wajah Polri selalu ditentukan oleh dinamika politik dari satu orde ke orde berikutnya. Polri adalah institusi yang memegang kewenangan luas, namun posisi tersebut sering menjebaknya dalam dilema antara kepentingan negara, masyarakat, dan rezim yang berkuasa, kendati ketiga orde berpegang pada prinsip ‘demokrasi’.
Pada masa Orde Lama (1945–1966), Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 menegaskan polisi sebagai alat kekuasaan negara sekaligus alat revolusi. Dengan fungsi menjaga keamanan dalam negeri, Polri lebih berperan melindungi kepentingan rezim dibanding masyarakat.
Sementara di era Orde Baru (1966–1998), Polri kehilangan kemandiriannya karena masuk dalam struktur ABRI melalui doktrin Dwifungsi. Polri pun berubah menjadi instrumen represif rezim Soeharto, berperan menjaga stabilitas politik dan kerap bertindak merugikan masyarakat.
Reformasi 1998 melahirkan cita-cita baru, Polri dipisahkan dari ABRI dan ditempatkan langsung di bawah Presiden melalui Tap MPR VI/2000 dan VII/2000. Agenda besar reformasi adalah mewujudkan democratic policing, yaitu polisi yang profesional, humanis, transparan, tunduk pada hukum, dan akuntabel.
Gagasan-gagasan teknokratik disusun untuk membangun kepercayaan publik dan menjadikan polisi mitra masyarakat. Namun realitas menunjukkan, meski militerisasi berakhir, praktik represif belum sepenuhnya hilang. Singkat kata, instrumental dan struktural selesai, namun kultural masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.
Jebakan demokrasi muncul ketika Polri justru memegang diskresi besar tanpa pengawasan memadai. Lembaga pengawasan yang dibentuk ex-officio hanya berfungsi memberi saran teknis tanpa daya paksa.
Akibatnya, kewenangan luas Polri berpotensi disalahgunakan. Transformasi ke arah kepolisian demokratis pun tetap menjadi pekerjaan rumah besar reformasi hingga kini.
Di sisi lain, persetujuan Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk komisi reformasi kepolisian pasca-dialog dengan tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menandai fase penting dalam upaya membongkar problem struktural Polri.
Dari perspektif politik, langkah ini bukan sekadar respons seremonial, melainkan bentuk pengakuan bahwa reformasi Polri tidak bisa lagi ditunda. Kehadiran tokoh lintas agama dan masyarakat sipil seperti Sinta Nuriyah Wahid, Quraish Shihab, dan Frans Magnis Suseno memberi legitimasi moral bahwa gagasan ini lahir dari keresahan publik yang luas, bukan hanya wacana elitis.
Analisisnya, jika komisi ini dijalankan dengan independensi nyata, ia dapat menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan negara, sekaligus memutus warisan budaya represif yang terus melekat di tubuh Polri.
Namun tantangan mendasarnya justru terletak pada bagaimana komisi ini diinstitusionalisasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan lembaga pengawas eksternal saat ini cenderung lemah karena hanya memiliki fungsi konsultatif.
Maka, bila komisi reformasi Polri yang baru hanya berhenti sebagai forum rekomendasi, risiko terjebak pada jebakan demokrasi kembali menguat. Lebih jauh, Polri tampak demokratis dalam wacana, tetapi tetap superbody tanpa kontrol. Pura-pura Demokrasi.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















