Ilustrasi: Rekening Pasif Diblokir, Negara Salah Baca Realitas Sosial?

Di tengah segala upaya memberantas kejahatan keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendadak menyentuh sisi lain dari kehidupan rakyat, yaitu rekening yang diam. Bukan karena bersalah, tapi karena terlalu sunyi.

Lebih dari 140.000 rekening bank diblokir karena dianggap dormant atau tidur terlalu lama, bahkan hingga 10 tahun, dengan nilai fantastis Rp428,6 miliar. Tidur panjang rupanya kini berisiko dianggap kriminal.

“Ini bagian dari pencegahan pencucian uang,” kata Koordinator Humas PPATK, M. Natsir Kongah, Selasa (29/7/2025). Seolah diam di era digital adalah tindakan subversif.

Langkah pemblokiran telah dilakukan sejak 15 Mei 2025, menyasar rekening yang tak bergerak, tak diperbarui datanya, dan tak bersuara. Tapi jangan khawatir, kata PPATK, dana tetap aman. Meski rekening dibekukan, uangnya katanya tidak ‘diculik’.

Tentu saja, ini membuat gaduh. Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan merasa negara mulai berpikir bahwa yang pasif itu mencurigakan.

“Seolah rakyat kecil tak boleh pasif. Harus kelihatan sibuk, harus aktif transaksi. Ini bukan revolusi keuangan digital, tapi kesalahan membaca kenyataan sosial,” katanya.

Di kampungnya, katanya, banyak ibu-ibu yang menyimpan harapan dalam rekening, bukan untuk belanja daring, melainkan sebagai celengan tenang.

DPR pun berencana memanggil PPATK. Komisi III tak ingin kebijakan ini jadi bumerang.

“Kalau mau basmi judi online, kejar sindikatnya. Jangan intimidasi rakyat yang diam. Jangan balas dendam ke rakyat karena tak mampu menembus yang besar,” tegas Hinca.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menepis bahwa kebijakan ini mendadak. Katanya, semua sudah dirancang sejak lama, meski penjelasannya baru sekarang ramai.

“Rekening bisa direaktivasi kok,” ucapnya.

Tapi di luar ring satu Jakarta, kadang tak ada ATM, apalagi QRIS. Reaktivasi bisa berarti naik ojek 30 km hanya demi membuktikan diri bahwa ‘saya masih ada’.

Tak kalah keras, Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo pun menyarankan PPATK jangan membuat gaduh.

“Blokir yang benar-benar mencurigakan saja. Jangan yang cuma tidur,” katanya.

Ia mengingatkan, rekening adalah hak privat. Negara tidak seharusnya mengintip isi celengan rakyat yang tak menyapa selama tiga bulan.

Sementara itu, Menko Polhukam Budi Gunawan mencoba menenangkan. Ia menjamin dana masyarakat tetap aman.

“Pemerintah pastikan hak masyarakat terlindungi,” katanya.

Tapi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan bukan hanya soal saldo aman, melainkan soal rasa dimengerti.

Karena jika rakyat mulai takut menyimpan uang di bank, di mana lagi mereka akan menaruh harapan? Di bawah bantal? Di celengan ayam? Jangan sampai kebijakan perlindungan justru menghidupkan kembali gaya simpanan zaman kolonial.

Negara boleh waspada, tapi jangan panik. Rakyat yang diam belum tentu bersembunyi. Bisa jadi mereka hanya menunggu waktu, atau sekadar menabung doa di rekening sunyi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto