Polemik mengenai gaji anggota DPR kembali muncul setelah publik mendengar angka fantastis. Rp100 juta per bulan yang dikantongi ‘katanya’ wakil rakyat.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir buru-buru meluruskan bahwa take home pay anggota dewan tidak sampai setinggi itu, melainkan ‘hanya’ sekitar Rp69–70 juta.
Ia pun menegaskan, gaji pokok anggota DPR masih Rp6–7 juta, tidak pernah naik selama 20 tahun terakhir. Selebihnya, angka yang melambung itu datang dari aneka tunjangan, mulai dari tunjangan beras, hingga tunjangan perumahan yang baru-baru ini mencapai Rp50 juta per bulan.
Klarifikasi itu sesungguhnya tidak banyak mengurangi rasa getir masyarakat. Bagaimanapun, angka Rp70 juta setiap bulan tetaplah istimewa. Di negeri yang guru-gurunya masih banyak menerima gaji di kisaran Rp2–3 juta, bahkan ada yang honorer hanya dibayar Rp500 ribu per bulan.
Kontrasnya begitu telanjang. Guru yang memegang mandat mencerdaskan generasi bangsa, kerap menunggu kepastian tunjangan sertifikasi yang cair tak menentu. Sementara, anggota dewan bisa tetap hidup layak versi mereka dengan jaminan fasilitas yang nyaris tak tersentuh rakyat kebanyakan.
Perbandingan dengan Swedia sering menjadi rujukan. Negara Skandinavia itu dikenal dengan tradisi egalitarianisme yang kuat. Anggota parlemen Swedia tidak mendapat fasilitas rumah dinas, tidak disediakan mobil mewah, bahkan gaji mereka dipatok agar tidak jauh berbeda dari rata-rata pendapatan warganya.
Prinsipnya sederhana, bahwa menjadi wakil rakyat bukanlah jalan menuju privilese, melainkan pengabdian. Itulah sebabnya kepercayaan publik terhadap parlemen di sana jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.
Ironinya, ketika di sini gaji pokok kecil tetapi ditopang oleh tunjangan segunung, istilah ‘pengabdian’ seakan kehilangan maknanya. Rakyat menyaksikan jurang antara penghasilan wakilnya dengan realitas ekonomi sehari-hari.
Angka Rp70 juta yang menurut anggota dewan terasa “make sense” karena beban kerja, bagi guru atau buruh adalah mimpi di luar jangkauan.
Pertanyaan mendasarnya adalah, sampai kapan DPR RI bertahan dengan pola keistimewaan seperti ini?
Apakah benar pembahasan legislasi dan anggaran sedemikian pelik sehingga menuntut kompensasi yang jauh melampaui standar hidup rakyat kebanyakan?
Atau justru, inilah momentum untuk menimbang kembali etika keadilan, apakah seorang wakil rakyat selayaknya hidup jauh di atas mereka yang diwakilinya?
Tulisan ini berpijak pada kesadaran bahwa demokrasi sehat menuntut kesederhanaan, transparansi, dan empati. Gaji dan tunjangan wakil rakyat memang bukan satu-satunya masalah bangsa.
Tetapi simbolisme penghasilan mereka berhadapan langsung dengan rasa keadilan publik. Ketika guru, tenaga kesehatan, atau aparat desa masih berkutat dengan honor minim, DPR semestinya memberi contoh, bukan malah menciptakan jurang.
Tabik!
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto















