Jakarta, aktual.com – Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin pertambangan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menuai sorotan publik. Menanggapi kritik tersebut, KPK menegaskan bahwa penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) tidak dilatarbelakangi kepentingan politik.
“Kalau tekanan politik tidak ada, ini murni kendala di teknis proses penanganan perkara. Ketidakcukupan alat bukti karena auditor tidak bisa melakukan penghitungan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dihubungi, Senin (29/12/2025).
Kasus dugaan korupsi ini pertama kali diumumkan KPK pada 2017. Saat itu, mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka. KPK menyebut potensi kerugian negara dalam perkara tersebut mencapai Rp2,7 triliun.
Namun, setelah berjalan hampir delapan tahun, KPK menyampaikan bahwa penyidikan resmi dihentikan sejak Desember 2024. Menurut Budi, keputusan tersebut diambil lantaran auditor tidak dapat menghitung nilai kerugian keuangan negara.
“Sangkaan awal pasal 2 dan pasal 3 tapi dalam prosesnya auditor tidak bisa melakukan penghitungan KN-nya (kerugian negara),” ujar Budi.
Ia menjelaskan, ketiadaan hasil penghitungan kerugian negara membuat unsur pembuktian tidak terpenuhi. Sementara itu, untuk dugaan suap dalam perkara yang sama, KPK menyatakan penuntutannya telah melewati masa kedaluwarsa.
“Ketidakcukupan alat bukti karena auditor tidak bisa melakukan penghitungan kerugian keuangan negara kemudian pasal suapnya kendala di kadaluarsa penuntutan,” jelas Budi.
Sebagaimana diketahui, KPK pada 2017 menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan izin pertambangan di Konawe Utara yang diduga memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara.
“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ucap Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, di kantor KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).
Saut menyampaikan bahwa perkara tersebut berkaitan dengan izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, hingga izin operasi produksi pada periode 2007–2009.
“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” kata Saut kala itu.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















