Sesudah seminggu sebelumnya media nasional diisi dengan berita menjemukan tentang konflik antar-menteri, yang seharusnya tak perlu diumbar di luar rapat kabinet, Presiden Joko Widodo tampil percaya diri di forum internasional. Pada penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Jokowi menyerukan boikot atas produk Israel yang dihasilkan di wilayah pendudukan.

Seruan itu disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato penutupan KTT, 7 Maret 2016, di Jakarta. Presiden mengatakan, terdapat urgensi bagi OKI untuk meningkatkan dukungan terhadap Palestina, dan menguatkan tekanan kepada Israel, melalui sejumlah langkah konkret. Salah satunya, boikot terhadap produk Israel yang dihasilkan di wilayah Palestina yang diduduki.

Seruan Jokowi itu cukup keras, walau bukan hal yang baru, karena sejumlah negara Eropa telah menyuarakan hal serupa, sebagai ekspresi penolakan mereka terhadap tindakan Israel yang terus menghambat upaya perdamaian Palestina-Israel. Israel terus membangun permukiman Yahudi secara ilegal di wilayah Palestina. Bahkan otoritas Israel sering menggusur rumah-rumah warga Palestina yang dianggap “mendukung serangan terhadap Israel.”

Seruan Jokowi tentu juga populer bagi kalangan Muslim dan ormas-ormas Islam di Tanah Air. Sikap Jokowi itu dinilai oleh Ketua DPR RI Ade Komarudin sebagai hal yang tepat, mengingat Israel sudah sejak lama menindas warga Palestina. Boikot produk diharapkan mampu membuat Israel berpikir ulang atas aksi penindasan yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Namun, dalam arti praktis, seruan Jokowi mungkin lebih bersifat simbolis dan politis. Karena kalau mau bicara detail, apa saja sih produk Israel –yang jelas-jelas ditulisi Made in Israel—yang beredar di Indonesia? Praktis bisa dibilang “tidak ada.” Produk agrikultur Israel yang mengeksploitasi daerah pendudukan tampaknya lebih banyak diekspor ke Eropa, yang secara geografis lebih dekat. Hubungan ekonomi Indonesia-Israel sangat minimal atau nilainya tidak berarti, dan secara resmi kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik.

KTT Luar Biasa OKI, yang dihadiri oleh perwakilan dari 57 negara, sejak awal memang memusatkan perhatian untuk membahas masalah Palestina dan Jerusalem. Sebanyak lebih dari 600 delegasi telah mengikuti sidang pejabat tingkat tinggi dan dewan menteri luar negeri, pada 6 Maret 2016. Palestina saat ini diakui oleh 137 negara dan berhasil meraih status negara peninjau di PBB.

OKI pertama kali dibentuk pada 1969 di Maroko sebagai respons atas aksi pembakaran Masjid Al-Aqsa di Jerusalem, oleh kaum ekstremis Yahudi. Namun, sejumlah perundingan damai Palestina-Israel selama beberapa dekade terakhir justru diwadahi negara atau organisasi lain, bukan OKI.

Dalam pidato penutupannya, Jokowi juga meminta semua anggota OKI menguatkan dukungan politis untuk menghidupkan kembali proses perdamaian Palestina-Israel. “Peninjauan kembali Quartet, dengan kemungkinan penambahan anggotanya. Indonesia siap untuk berpartisipasi dan mendukung mekanisme ini,” kata Jokowi. Quartet yang dimaksud Jokowi adalah empat pihak yang terlibat sebagai sponsor perundingan damai Palestina-Israel, yaitu: Amerika Serikat, Rusia, PBB, dan Uni Eropa.

Jokowi juga menambahkan perlunya peningkatan tekanan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberikan perlindungan internasional bagi Palestina, serta penetapan batas waktu pengakhiran pendudukan Israel. Termasuk pula, penolakan tegas terhadap pembatasan akses beribadah ke Masjid Al-Aqsa serta tindakan Israel yang mau mengubah status-quo dan demografi Al-Quds Al-Sharif.

Israel telah membangun banyak permukiman Yahudi secara ilegal, dan sudah masuk hingga ke Jerusalem Timur, yang berstatus wilayah pendudukan. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi komposisi demografi di wilayah tersebut, dan dapat membuat rakyat Palestina kehilangan hak atas wilayah mereka. Bahayanya, kehadiran permukiman Yahudi tersebut akan mengubah komposisi demografi di Palestina.

Awalnya, di wilayah Jerusalem Timur dulu banyak tinggal masyarakat Palestina. Tetapi semakin hari jumlah mereka semakin menipis dan terdesak dengan adanya pemukim Yahudi (Jewish settlers) ilegal. Jadi, jika suatu hari diadakan referendum, dikhawatirkan pihak Palestina bisa kalah karena Jerusalem Timur isinya pemukim Yahudi semua, karena lima juta lebih rakyat Palestina berada di luar wilayah itu.

Itulah sebabnya Indonesia menyerukan upaya-upaya, untuk mengakui hak pengungsi Palestina untuk pulang kembali ke kampung halaman mereka di Palestina. Isu hak pengungsi Palestina untuk pulang ke tanah airnya ini ditentang keras oleh Israel, dan masih menjadi isu yang mengganjal dalam perundingan Palestina-Israel. Ada lima isu utama yang selama ini belum ada titik temu antara Israel dengan Palestina, yakni status kota Jerusalem, hak pengungsi Palestina, garis perbatasan Israel-Palestina, keamanan, dan akses terhadap sumber daya air.

Artikel ini ditulis oleh: