Media massa dan para jurnalis sebagai ujung tombaknya harus selalu berlaku profesional. Salah satu ukuran profesionalisme jurnalis adalah kepatuhan menjalankan kode etik jurnalistik. Nah, bicara tentang kode etik ini, dunia pers Indonesia berutang pada salah satu tokoh bernama Suardi Tasrif.
Lahir di Cimahi, Jawa Barat, pada 3 Januari 1922, Suardi Tasrif adalah figur sentral yang pertama kali merumuskan kode etik jurnalistik untuk jurnalis Indonesia, sehingga ia dikenal sebagai “Bapak” Kode Etik. Anak dari pasangan Mohammad Tasrif dan Siti Hapzah ini adalah seorang pengacara dan juga tokoh pers nasional.
Suardi mengawali pendidikannya di sekolah rakyat tahun 1929-1936. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Palembang pada 1936-1939, lalu ke AMS tahun 1939-1942. Setelah menyelesaikan AMS, Suardi melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1962-1965. Dalam waktu tiga tahun, ia meraih gelar Sarjana Hukum.
Setelah magang di kantor advokat Mr. Iskaq, Suardi mendirikan kantor advokatnya sendiri. Ia pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia. Ia juga menjadi anggota The International Bar Association, The Law Association for Asia and Western Pacific (Lawaisis). Selain pendidikan formal, Suardi juga mengikuti pendidikan nonformal seperti kursus politik di Universitas Colombia, Amerika Serikat.
Dunia jurnalistik dikenalnya pertama kali ketika Suardi mengirimkan artikel berjudul “Kesusastraan dan Kepahlawanan” ke surat kabar terbitan Bandung, Cahaya. Meski ia lalu pindah ke Jakarta dan menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Pembangunan yang didirikan Jepang, Kenkaku Gakuin, Suardi tetap aktif mengirim karangan ke Cahaya.
Karirnya sebagai pengelola pers dimulai ketika secara sembunyi-sembunyi bersama rekannya, Edi Suraedi, ia menerbitkan Majalah Soeara Indonesia. Situasi proklamasi 1945 mendorong Suardi balik ke Bandung. Lalu bersama Abdul Hayi dan Budiman, Suardi untuk pertama kalinya menekuni jurnalistik radio. Bertiga mereka aktif bersiaran di The Voice of the Free Indonesia. Suardi bertahan di bidang broadcasting ini cuma sampai November 1945, karena pasukan Inggris keburu menyerbu masuk ke Bandung.
Suardi lalu pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan rombongan Usmar Ismail, yang menerbitkan mingguan Tentara dan majalah bulanan Arena. Lalu ia bergabung di Berita Indonesia, yang terbit di daerah pendudukan Belanda. Suardi beberapa kali berpindah-pindah media, mulai dari Sumber, Pedoman, sampai ke Abadi. Dalam bidang media massa, Suardi adalah salah satu dari tokoh Empat Sekawan bersama BM Diah (Merdeka), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), dan Rosihan Anwar (Pedoman). Merekalah yang menentukan kinerja persuratkabaran di Jakarta dalam dekade 1950-an.
Gara-gara menulis peristiwa Malari, koran terakhir Suardi, Abadi, bersama 12 media lainnya dibreidel pemerintah Soeharto pada 1974. Sejak itulah Suardi meninggalkan dunia jurnalistik yang selama puluhan tahun ditekuninya, dan beralih ke dunia pengacara. Di sini pun ia tampil sebagai pengacara yang tangguh dan teguh memegang prinsip. Hal itu antara lain terlihat, ketika ia menjadi pembela dr. Hariman Siregar dalam kasus Malari.
Suardi juga berkarya di bidang penulisan. Ia menulis buku “Pengakuan International dalam Toeri dan Praktek” dan “Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru.” Ia sempat menjadi kolumnis di harian pagi Kompas dan majalah berita mingguan Tempo.
Dalam dunia jurnalistik Indonesia, berbekal ilmu hukum yang dikuasainya, ia juga berperan sebagai perumus Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1954. Kongres PWI di Padang tahun 1978 menunjuknya menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI. Tahun 1988, ia juga duduk dalam Dewan Kehormatan PWI, yang bertugas mengawasi agar Kode Etik dipatuhi oleh wartawan anggota PWI.
Dalam catatannya di zaman Orde Baru, Suardi menyesalkan PWI, organisasi tempat bernaung para wartawan yang dulu dipandang memiliki idealisme tinggi. “Sekali pun PWI tidak berkiblat pada organisasi politik, tapi banyak tokoh dalam pimpinan PWI, di pusat maupun di daerah yang menjadi fungsionaris Golkar, partai yang berkuasa. Tidak mungkin diharapkan bahwa dalam konstelasi politik seperti sekarang, PWI dapat mempertahankan kemandiriannya,” tulisnya.
Pendapat Suardi terbukti kemudian pada Juni 1994, ketika pemerintah Soeharto membreidel tiga media –Tempo, DeTik, Editor—dan PWI saat itu tidak bersuara menentang, malah PWI menyatakan “memaklumi” pembreidelan. Tahun 1994, ketika sudah wafat, Suardi Tasrif mendapat anugerah Bintang Mahaputra kelas II, atas jasa-jasanya yang telah ia berikan kepada negara.
Dalam catatan yang ada menjelang akhir hidupnya, Suardi merasa sangat gundah melihat sosok pers Indonesia. Suardi menilai, dalam menyiarkan berita dan pendapat tentang peristiwa dalam negeri, terasa sekali pers Indonesia harus melakukan sensor diri sebesar-besarnya. Ini membuat isi surat kabar jadi menjemukan untuk dibaca. Seperti halnya keadaan di zaman Orde Lama, di masa Orde Baru pun membaca satu surat kabar dirasa sudah cukup, karena surat kabar lain isinya juga sama saja.
Suardi Tasrif –yang biasa disapa dengan panggilan Suardi, Oyama-san, Tasrif, dan Didi– menikah dengan Ratna Hajari Singgih pada 19 Juli 1949 di Cigunung, Bogor. Pasangan ini dikaruniai enam anak, yaitu: Haydar Syah Rizal, Geaffary Syah Indra, Hadrian Syah Razad, Irawan Syah Zehan, Prahara Syah Rendra, dan Puri Sandra Puspita Rani. Keenam anak mereka itu kini telah berkeluarga dan memberikan 11 cucu.
Dalam keluarganya, Suardi mengajarkan bahwa segala sesuatu harus terencana dengan baik sehingga tidak ada semacam ketergantungan. Oleh istrinya, Suardi dikenal sebagai orang yang bersifat universal, intensif dalam pergaulan dan pekerjaan, serta berwawasan luas. Di samping itu, Suardi menanamkan prinsip dasar bahwa hidup harus fleksibel, harus ada pengabdian pada negara, dan harus bersikap sosial. Profesi kepengacaraannya yang ditekuni menurun kepada anaknya, Haydarsyah dan Irwansyah.
Suardi Tasrif meninggal dunia di Jakarta, 24 April 1991, pada usia 69 tahun. Namanya diabadikan oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam bentuk penghargaan Suardi Tasrif Award. Penghargaan ini tiap tahun diberikan oleh AJI Indonesia kepada warga Indonesia yang dianggap telah berjasa dan berkontribusi bagi kebebasan pers dan kemajuan pers Indonesia. ***
Depok, 13 Agustus 2015
Artikel ini ditulis oleh: