HAJI

Jakarta, Aktual.com — Menjelang pelaksanaan wukuf, kini jemaah Haji dari segala penjuru dunia berduyun-duyun mendatangi kota Suci Mekah dan Madinah untuk menyempurnakan pelaksanaan Rukun Islam yang kelima.

Mereka itu memenuhi panggilan Nabi Ibrahim AS dengan satu harapan besar mendapatkan maghfirah dari Allah SWT atas semua dosa dan khilafnya yang telah dilakukan selama ini.

Mereka ingin jika nanti suatu saat harus segera kembali menghadap Ilahi Rabbi, maka dirinya dalam keadaan suci, seperti baru lahir dari kandungan sang ibu.

Di antara mereka diliputi kecemasan. Apa yang akan terjadi selama di Tanah Suci. Apakah mereka dapat menyelesaikan seluruh rangkaian ritual ibadah Haji itu dengan baik. Atau jatuh sakit dan banyak rintangan lainnya? Dapatkah Haji Mabrur, yang diidamkan selama ini, dapat diraihnya? Ibadah Haji paling banyak mengeluarkan tenaga dan biaya. Sebab itulah, maka ibadah Haji ini hanya terbatas bagi setiap muslim yang mampu. Atau dengan sebutan lain memenuhi syarat istitha’ah, yaitu kemampuan dari sisi materi.

Hal ini berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh si calon Haji. Biaya itu meliputi biaya bepergian, biaya untuk keluarga yang ditinggal, dan biaya hidup selama di Tanah Suci. Tentunya biaya itu tidak sedikit. Selain kemampuan dalam fisik dan materi, istitha’ah juga meliputi keadaan aman dalam melakukan perjalanan ketika Haji.

Walaupun ibadah Haji itu terasa berat, tetap terasa nikmat. Alasannya, setiap individu merasa semakin dekat kepada Allah SWT. Pahala ibadahnya pun berlipat ganda. Shalat yang dilaksanakan di Masjid Nabawi pahalanya lipat 1000 kali daripada shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram, sedangkan salat di Masjidil Haram lipat 100 kali daripada salat di Masjid Nabawi. Dengan kata lain lipat 100.000 kali dibanding salat yang dilaksanakan di Masjid lainnya.

Dalam realitasnya, pelaksanaan ibadah Haji rumit, karena harus memperhatikan kesehatan jasmani, kemantapan rohani dan kecukupan logistik. Agar ibadah Haji menjadi mabrur, maka perlu memperhatikan; memperoleh biaya yang halal, ikhlas karena Allah, berbekal karena taqwa, menguasai tentang ilmu ibadah Haji, dan harus mengetahui safar atau perjalanannya.

Sementara itu, otoritas setempat, dalam hal ini Pemerintah Arab Saudi dan Kementerian Agama Indonesia dari tahun ke tahun dituntut untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Jumlah petugas haji dari Tanah Air tiap tahun dituntut untuk terus meningkatkan kualitas layanan.

Penambahan kuota Tuntutan memperbesar kuota Haji pun dari berbagai negara setiap tahun meningkat. Itulah sebabnya proyek perluasan Masjidil haram terus berlanjut hingga 2020 sejak lima tahun terakhir.

Penyelenggaraan Haji harus dilakukan dengan baik. Sebab, ibadah ini menyangkut perjalanan suci bagi umat Muslim dari seluruh penjuru dunia. Perjalanan menelusuri tapak-tapak kaki para Nabi. Dengan niat suci memenuhi panggilan Ilahi.

Oleh karena itu, para Ulama sepakat menyebut bahwa ibadah Haji menuntut banyak pengorbanan, tidak hanya yang bersifat fisik dan materil, tetapi juga kesiapan mental dan moril. Jutaan manusia pada saat dan tempat yang sama bergerak dari satu tempat ke tempat lain; mulai dari Mekah ke Mina pada hari tarwiyah, dari Mina ke Arafah, dari Arafah ke Muzdalifah, kemudian kembali ke Mina untuk melontar jumrah, dan selanjutnya bolak-balik Mina-Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah dan kurban.

Dengan demikian, Haji merupakan ibadah yang penuh perhitungan dan menuntut kecermatan, bukan hanya pada ruang dan waktu tetapi juga kalbu. Hanya dengan itu seseorang yang berhaji akan sampai kepada tujuan mulia berhaji, yaitu musy’hadah; merasakan kehadiran Tuhan dalam jiwanya. Bila itu ia telah peroleh, akan tersingkap segala rahasia keagungan Tuhan, sehingga dirinya menyatu dan larut secara total dalam kebesaran Tuhan. Itulah yang disebut muk’syafah.

Pada tingkat muk’syafah, seseorang akan melihat dengan mata hati yang dikendalikan cahaya ilahi. Demikian pula pendengaran dan perilaku lainnya, semuanya terkendali dalam bimbingan Ilahi. Jika demikian halnya, sudah pasti yang ditebar adalah kebaikan. Untuk mencapai itu semua diperlukan kesungguhan dan usaha keras, yang di dalam Alquran diungkapkan dengan kata mu’hadah. Karena itu, di penghujung surat haji Allah berfirman : Dan berusaha keraslah kamu pada jalan Allah dengan yang sebenar-benarnya. (Q.,s. Al-Hajj : 78) Penutup surah ini mengesankan, setiap tujuan mulia harus selalu disertai dengan usaha keras. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha keras hamba-Nya. Dan orang-orang yang berusaha keras untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.,s. Al-Ankabut : 69) Prosesi ibadah haji yang menuntut pengorbanan itu diakhiri dengan ungkapan syukur kepada Allah SWT. yang dibuktikan dengan mempersembahkan daging kurban kepada fakir dan miskin. Kurban adalah bukti syukur dan taqwa. Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah mengenal yang namanya pengorbanan.

Kepala Bidang Pengkajian Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an (LPMA) Dr. H. Muchlis M. Hanafi, M.A menyebutkan dalam sejarah peradaban manusia, termasuk agama-agama sebelum Islam, kurban dikenal sebagai persembahan makanan kepada Tuhan atau perantara hamba dengan Tuhannya, dan juga tebusan atas kesalahan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, kurban dipersembahkan untuk menebus murka Tuhan.

Melalui ajaran Nabi Ibrahim As yang substansinya sejalan dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallhu `alayhi wasallam, kurban diperkenalkan dalam bentuk lain, yaitu suatu bentuk ketaatan, ketakwaan dan rasa syukur kepada Yang Mahakuasa. Karena itu ibadah kurban dalam Islam berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Yang diharapkan Tuhan hanyalah ketakwaan hati, sementara daging hasil sembelihan menjadi milik fakir dan miskin.

Ibadah Haji adalah bentuk ritual tahunan dan dilaksanakan kaum muslim sedunia bagi yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan amalan sholeh dan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim Haji (bulan Dzulhijjah).

Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Banyak orang mengakui bahwa melaksanakan kewajiban ibadah haji tidak ringan. Tak cukup dengan materi, tapi juga perlu kemampuan lahir dan batin. Haji adalah rukun (tiang agama) Islam kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa.

Pentas replika Wukuf di Arafah salah satu rukun haji, dilaksanakan di suatu daerah terbuka dan luas di sebelah timur luar kota suci umat Islam di Mekkah, Arab Saudi. Seseorang tidak akan memperoleh haji jika tak melaksanakan wukuf. Wukuf mengandung makna sebagai suatu proses mengantarkan diri ke suatu “pentas replika padang mashar”. Di Arafah itu pula digambarkan bagaimana kelak manusia dibangkitkan dan dikumpulkan dalam formasi antrian menunggu giliran untuk dihisab oleh Allah SWT.

Mengingat demikian pentingnya wukuf bagi jamaah yang melakukan ibadah haji, dalam kondisi apa pun jamaah calon haji harus diberangkatkan ke Arafah. Meski yang bersangkutan dalam kondisi sakit dan terinfus, tidak bisa bergerak dan kondisi kritis lainnya, semua jamaah sakit harus dibawa menggunakan ambulans, yang kemudian populer dengan sebutan jemaah safari wukuf.

Para Ulama sepakat bahwa esensi dari ibadah Haji adalah kesamaan derajat (egalitarian) yang ditampakkan dalam pakaian ihram yang tak terjahit, yang merupakan simbol persamaan derajat manusia. Sedangkan warna putih menggambarkan kesucian di hadapan Allah.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Wukuf di Arafah juga mengingatkan umat manusia akan sejarah awal kehadirannya di muka bumi. Termasuk proses turunnya Adam dan Hawa sebagai manusia pertama ke Bumi dan bertemu di padang Arafah ini.

Jabal Rahmah adalah salah salah satu bukit dan saksi “bisu” di kawasan Arafah bagi dua insan yang bertemu kembali seizin Allah setelah beratus tahun saling mencari di muka bumi. Bagi jemaah sudah menjadi kewajiban mengambil wukuf atau tinggal di padang Arafah. Jamaah wajib tinggal di padang Arafah dari awal waktu Dzuhur sampai masuk waktu maghrib, sehari sebelum Idul Adha.

Puncak ibadah haji jatuh pada 9 Dzulhijjah dan pada saat itu seluruh jemaah haji berkonsentrasi di satu titik, yaitu Padang Arafah. Di Padang Arafah berlangsung pertemuan akbar. Di tempat itu berlangsung pertemuan jemaah dari seluruh dunia yang ingin mendapat ridho Allah SWT dan ampunannya, dengan melaksanakan wukuf.

Sabda Rasulullah SAW, Nabi Muhammad SAW, menegaskan, yang artinya haji itu datang di Arafah. Dan, barang siapa yang wukuf maka dia memperoleh haji.

Pengakuan yang jujur dan ikhlas, tanpa rasa sombong dan takabur, di hadapan Allah adalah puncak amaliah haji. Itulah Arafah, wukuf merupakan bentuk mendefinisikan hakikat keberadaan umat dihadapan Allah SWT, sekalipun sebenarnya Allah SWT telah mengetahui itu semua.

Lihatlah langit Arafah. Renungilah bahwa pada hari yang mulia itu Allah SWT sedang memanggil para malaikatnya berkumpul di langit Arafah, dan membangga-banggakan umatnya yang sedang wukuf di Arafah di hadapan para Malaikatnya di langit.

Disebutkan dalam Hadis Qudsi bahwa Allah SWT berfirman bahwa : “Lihatlah kepada hamba-Ku di Arafah yang lesu dan berdebu. Mereka datang kesini dari penjuru dunia. Mereka datang memohon rahmat-Ku sekalipun mereka tidak melihatku minta perlindungan dari azab-Ku, sekalipun mereka tidak melihat Aku.” Allah sangat memuliakan hari wukuf di Arafah.

Hari itu, Allah SWT mendekat sedekat-dekatnya kepada orang-orang yang wukuf di Arafah untuk mendengarkan ungkapan dan keluhan hati mereka, menatap dari dekat wajah dan perilaku mereka.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “…Ia (Allah) mendekat kepada orang-orang yang di Arafah. Dengan bangga Ia bertanya kepada para malaikat, Apa yang diinginkan oleh orang-orang yang sedang wukuf itu.” Pada hari itu, Allah senang sekali jika kita berdoa kepada-Nya. Ia mengabulkan semua doa mereka disana, sebagaimana tersebut dalam hadist yang lain, Sabda Rasullullah saw : “Diantara berbagai jenis dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan melakukan wukuf di Arafah.” (diamanatkan oleh Ja`far bin Muhammad sampai kepada Rasulullah saw).

Bahkan Allah SWT murka ketika manusia tidak yakin dosanya diampunkan di Arafah, seperti sabda Rasullullah saw : “Yang paling besar dosanya diantara manusia adalah seseorang yang berwukuf di Arafah lalu berprasangka bahwa Allah tidak memberinya ampu”. (Al Khatib dalam kitab Al-Muttafaq wal Muftaraq).

Demikian agung dan mulianya hari Arafah ini, meski wukuf hanya beberapa jam saja. Sungguh sangat penting berdoa di Arafah, disaksikan dari dekat oleh Allah SWT dan dibangga-banggakan-Nya kita di depan para malaikatnya.

“Hai malaikat-Ku, Apa balasan (bagi) hamba-Ku ini, ia bertasbih kepada-Ku, ia bertahlil kepada-Ku, ia bertakbir kepada-Ku, ia mengagungkan-Ku, ia mengenali-Ku, ia memuji-Ku, ia bershalawat kepada Nabi-Ku.” “Wahai para malaikat-Ku, Saksikanlah, bahwasanya Aku telah mengampuninya, Aku memberi syafaat (bantuan) kepadanya. Jika hambaku memintanya tentu akan Kuberikan untuk semua yang wukuf di Arafah ini.

Artikel ini ditulis oleh: