Kedua adalah kelembagaan perlindungan konsumen (institusionalisasi), dan Ketiga adalah penegakan dan kepastian hukum perlindungan konsumen.
Untuk itu, lanjutnya, perubahan UU Perlindungan Konsumen perlu segera direspon dengan bijak. Perubahan UU itu perlu mengakomodasi berbagai perkembangan zaman dan pasar yang dinamis. Perubahan UU Perlindungan Konsumen sebaiknya disusun secara komprehensif dan holistik.
Komprehensif artinya mencakup perspektif filosofis, historis, yuridis dan memayungi seluruh sektor yang ada. Holistik mengandung makna soliditas regulasi yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem hukum yang ada di Indonesia.
Menurut dia, perubahan UU itu perlu memperhatikan/mencermati sejumlah regulasi lintas sektor, lintas fungsi, sehingga mengeliminir berbagai tumpang tindih atau bahkan kontradiksi yang berpeluang terjadi.
Kemudian institusionalisasi upaya perlindungan konsumen atau sisi kelembagaan perlindungan konsumen perlu diperkuat dengan memberi ruang yang memadai bagi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 8/1999.
Memperkuat kelembagaan perlindungan konsumen artinya memperkuat institusi resmi yang diakui UU dalam upaya perlindungan konsumen (yakni BPKN). Sayangnya lembaga ini belum dapat berbuat banyak meskipunn telah ada sejak 12 tahun lalu.
Hal penting lainnya dalam perubahan UU perlindungan konsumen adalah mempertegas penegakan hukum perlidnungan konsumen.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka